Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Banjir Banjir Bandang Bencana Featured Greenpeace Istimewa Lintas Peristiwa Spesial

    Banjir Bandang di Sumatra, Greenpeace Sudah Ingatkan Sejak 10 Tahun Lalu, tapi Tak Didengar - Tribunnews.

    11 min read

     

    Banjir Bandang di Sumatra, Greenpeace Sudah Ingatkan Sejak 10 Tahun Lalu, tapi Tak Didengar - Tribunnews.com

    Editor: Bobby Wiratama

    BNPB
    BANJIR DI SUMATRA - Dalam foto: Kondisi pascabanjir wilayah di Desa Hotagodang , Batangtoru, Tapanuli Selatan pada Minggu (30/11/2025). Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik. menyebutkan pihaknya sebenarnya sudah memprediksi tentang potensi terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di Pulau Sumatra sejak 10 tahun lalu.  
    Ringkasan Berita:

    TRIBUNNEWS.COM - Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace IndonesiaIqbal Damanik. menyebutkan pihaknya sebenarnya sudah memprediksi tentang potensi terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di Pulau Sumatra sejak 10 tahun lalu. 

    Akan tetapi, kata Iqbal, meski sudah memberikan peringatan, Greenpeace Indonesia tidak pernah didengar oleh pihak yang seharusnya bertanggung jawab.

    Akhir November 2025 menjadi periode kelabu bagi Indonesia; tiga provinsi di Pulau Sumatera, yakni Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh, dilanda banjir dan tanah longsor.

    Akibat peristiwa ini, tercatat sudah ada lebih dari 700 orang tewas, ratusan lainnya hilang, dan ribuan orang luka-luka.

    Awalnya, Iqbal mengatakan bahwa Greenpeace Indonesia turut berduka atas bencana tersebut.

    Lalu, ia mengungkap bahwa kejadian ini sudah diprediksi sejak 10 tahun lalu, apalagi mengingat semakin rusaknya Ekosistem Batang Toru.

    "Sebelum ke sana, kita ikut berduka atas bencana ini," kata Iqbal saat menjadi tamu dalam podcast Abraham Samad Speak Up yang diunggah pada Selasa (2/12/2025).

    Rekomendasi Untuk Anda
    Analisis CELIOS Kerugian Ekonomi akibat Banjir 3 Provinsi di Sumatra: Aceh Merugi Rp2,04 Triliun

    "Meskipun memang banyak yang sebenarnya sudah memprediksi, bahkan dari 10 tahun yang lalu, karena ini wilayah esensial gitu ya, wilayah Batang Toru, wilayah Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan."

    "[Greenpeace] sudah pernah mengingatkan, tetapi nggak didengar, diabaikan."

    Iqbal pun mengungkapkan suara hatinya sebagai aktivis lingkungan, yakni betapa menyedihkan ketika kejadian buruk berujung bencana yang sebenarnya sudah diprediksi ternyata benar-benar terjadi.

    Menurutnya, bencana yang sebelumnya sudah diprediksi dan akhirnya terjadi itu, seperti musibah banjir bandang di Sumatra, disebabkan oleh sikap denial atau enggan mendengarkan peringatan dari ilmuwan atau ahli.

    "Makanya bagian yang paling menyedihkan jadi aktivis lingkungan salah satunya adalah ketika yang dia prediksi menjadi kebenaran," tutur Iqbal.

    "Itu menyedihkan sekali bagi kami sebenarnya, karena kita selalu berpikir bencana, dan pasti bencana itu pasti ada korban gitu."

    Iqbal yang pernah diejek sebagai Wahabi Lingkungan oleh tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Ulil Abshar-Abdalla pada Juni 2025 lalu karena menolak tambang nikel di Papua ini pun menyebut, pihaknya sudah memperingatkan bahwa bencana alam di Sumatra ini adalah keniscayaan karena adanya perubahan iklim yang terjadi secara global.

    Namun, ia menilai, pemerintah tidak mau mendengar peringatan tersebut, lantaran lebih mementingkan aspek ekonomi.

    "Bahkan, yang terjadi di wilayah Sumatera ini tuh sudah lama banget diingatkan, karena perubahan iklim secara masif secara global bahkan para ahli sudah sudah menyebutkan sebenarnya," jelas Iqbal.

    "Tapi [pemerintah] denial terhadap scientists [ilmuwan]. Itu agak sulit, kayaknya karena mungkin kita lebih mementingkan ekonomi politiknya ketimbang mementingkan saintisnya."

    Banjir Bandang di Sumatra: Ibarat Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga Pula

    Iqbal Damanik pun lantas memaparkan, ada dua penyebab utama dari bencana ekologis banjir bandang dan tanah longsor di yang melanda tiga provinsi di Sumatra ini.

    Penyebab pertama adalah cuaca ekstrem.

    Akan tetapi, kata Iqbal, cuaca ekstrem itu sendiri harus diakui juga terjadi karena ada kegagalan pemerintah dalam mengantisipasinya.

    "Kalau kita lihat ada dua sebenarnya penyebab utamanya di sini," ujar Iqbal.

    "Pertama cuaca ekstrem itu memang harus kita iyakan."

    "Alasan memang terjadi cuaca ekstrem, tapi harus kita ketahui bahwa cuaca ekstrem ini terjadi adalah akibat kebijakan pemerintah yang gagal. Ada kegagalan pemerintah di situ."

    Penyebab kedua adalah kondisi ekologis yang memang sudah rusak.

    Dengan dua penyebab ini, Iqbal mengibaratkan, terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra seperti peribahasa 'sudah jatuh, tertimpa tangga.'

    Sebab, peristiwa itu terjadi karena sudah ada hujan ekstrem karena krisis iklim, ditambah pula dengan rusaknya ekologi sekitar.

    "Yang kedua adalah kondisi ekologisnya memang sudah hancur. Jadi, ibaratnya kita sudah jatuh tertimpa tangga pula, gitu," tutur Iqbal.

    "Dan inilah yang dirasakan masyarakat sebenarnya saat ini. Hujan deras itu situasi krisis iklim, anomali cuaca yang disebabkan naiknya suhu permukaan laut dan ini sudah terprediksi bahwa akan terjadi sebuah siklon di wilayah Sumatera, yang itu tidak akan pernah terjadi sebenarnya."

    "Jadi anomali, krisis iklim tuh kata anak sekarang ya anomali cuaca, extreme weather event."

    Pentingnya Ekosistem Batang Toru: Kerusakannya dan Banjir Bandang di Sumatra

    Ekosistem Batang Toru, yang juga dikenal sebagai Ekosistem Harangan Tapanuli, merupakan salah satu hutan tropis terakhir yang tersisa di Sumatra Utara, khususnya di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Tapanuli Utara. 

    Kawasan ini mencakup sekitar 250.000 hektare dan berfungsi sebagai habitat penting bagi spesies langka seperti orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), harimau Sumatra, tapir, dan pangolin.

    Selain nilai biodiversitasnya, ekosistem ini memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan hidrologi di Pulau Sumatra, terutama sebagai "benteng terakhir" hutan di Sumatra Utara yang melindungi daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru.

    Kerusakan Ekosistem Batang Toru menuai sorotan tajam karena dianggap sebagai salah satu faktor terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra.

    Ekosistem atau DAS Batang Toru sendiri merupakan satu dari sebagian besar DAS di Sumatra yang kini mengalami kerusakan parah.

    “Mayoritas DAS di Pulau Sumatera telah kritis–dengan tutupan hutan alam kini kurang dari 25 persen. Sedangkan secara keseluruhan kini tinggal 10-14 juta hektare hutan alam atau kurang dari 30 persen luas Pulau Sumatera yang 47 juta hektare," kata peneliti senior Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi, dikutip dari rilis resmi Greenpeace Indonesia, Selasa (2/12/2025).

    DAS Batang Toru rusak parah lantaran dibebani berbagai macam perizinan untuk industri rakus lahan–termasuk PLTA Batang Toru–yang lantas membabat hutan, sekaligus menggusur habitat orang utan Tapanuli. 

    Berikut hasil analisis Greenpeace tentang kawasan hutan di area DAS Batang Toru:

    1. Selama periode 1990-2022, telah terjadi deforestasi seluas 70 ribu hektare atau 21 persen dari luas DAS. Kini luas hutan alam yang tersisa sebesar 167 ribu hektare atau 49 persen dari luas DAS.

    2. Areal perizinan berbasis lahan dan ekstraktif secara keseluruhan seluas 94 ribu hektare atau 28 persen. Sebagian besar berupa perizinan berusaha pemanfaatan hutan, wilayah izin usaha pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit. 

    3. Total potensi erosi saban tahun sebesar 31,6 juta ton. Sekitar 56 persen berasal dari areal rawan erosi >180 ton/hektare/tahun. 

    4. Bagian hulu sudah beralih fungsi menjadi pertanian kering, sedangkan hilirnya beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan industri bubur kertas. Hutan alamnya hanya berada di bagian tengah DAS.

    UPDATE JUMLAH KORBAN BANJIR BANDANG DI SUMATRA

    Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terus memberikan update atau pembaruan mengenai jumlah korban dan kerusakan akibat banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra.

    Menurut update rekapitulasi di situs gis.bnpb.go.id pada Selasa (2/12/2025) petang pukul 19.59 WIB, jumlah korban tewas dalam banjir dan tanah longsor di Sumatera kini tercatat 744 jiwa.

    Sementara, ada 551 orang yang dilaporkan hilang.

    Sebanyak 2.564 orang mengalami luka-luka.

    Total, ada 3,3 juta warga yang terdampak, serta 1,1 juta warga harus mengungsi.

    Untuk data kerusakan di 50 kabupaten terdampak, sekitar lebih dari 3.600 unit rumah mengalami rusak berat, 2.100an unit rumah rusak sedang, dan 3.700an rumah mengalami rusak ringan.

    Lalu, ada 323 fasilitas pendidikan rusak, dan 299 unit jembatan rusak.

    (Tribunnews.com/Rizki A.)

    Komentar
    Additional JS