Banjir Sumatra, Negara Harus Audit Izin hingga Moratorium Penebangan Hutan - NU Online
Banjir Sumatra, Negara Harus Audit Izin hingga Moratorium Penebangan Hutan
NU Online · Selasa, 2 Desember 2025 | 09:30 WIB
Ilustrasi penebangan hutan. (Foto: NU Online/Freepik)
Jakarta, NU Online
Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mendesak pemerintah untuk menghentikan siklus kerusakan dan bencana yang terjadi di Sumatra Utara (Sumut), Sumatra Barat (Subar), dan Aceh.
Baca Juga
Basmi Pembalakan Liar Perlu Pendekatan Agama
Pertama, audit menyeluruh seluruh izin (HGU, IUPHHK, IUP, PHAT, PPKH) di provinsi terdampak dan cabut izin yang melanggar atau berada di kawasan hulu rawan bencana.
"Tindak tegas perusahaan dan individu yang terlibat dalam pembalakan ilegal atau penyalahgunaan izin," ujar Direktur Eksekutif JPIK Muhammad Ichwan kepada NU Online, Senin (1/12/2025).
Baca Juga
Permenhut 55/2006 Legalkan Penebangan Liar
JPIK juga meminta pemerintah tinjau ulang integritas Sertifikat Legalitas Kayu dan Kelestarian pada semua Konsesi Hutan.
Baca Juga
Basarnas: 33 Ribu Warga Terdampak Banjir Sumatra, 447 Meninggal dan 399 Masih Hilang
"Kementerian Kehutanan harus membekukan atau mencabut sertifikasi dari unit manajemen yang terbukti berkontribusi pada kerusakan ekologis," tegasnya.
JPIK juga meminta pemerintah memoratorium permanen perizinan baru. Hentikan sementara semua izin alih fungsi hutan, terutama di hutan alam tersisa dan DAS kritis, sampai audit tuntas dilakukan.
"Pemerintah harus melakukan moratorium penebangan total di semua provinsi yang hutannya mengalami kritis dan tutupannya kurang dari 30% luas daratan," ujarnya.
Pemulihan, kata Ichwan, harus fokus pada rehabilitasi hulu DAS, penanaman jenis pohon lokal, dan penguatan wilayah kelola masyarakat adat dan lokal sebagai benteng ekologi.
Negara perlu menutup celah-celah legal yang memungkinkan kayu ilegal disulap menjadi legal, memperketat pengawasan, dan membuka embuka seluruh data perizinan untuk publik.
"Tragedi banjir serentak di Sumatera adalah peringatan keras bahwa hutan di Sumatera telah berada di titik kritis, dan kebijakan negara baik melalui tindakan, pembiaran, maupun celah perizinan—turut mempercepat kehancurannya," bebernya.
Negara, kata dia, tidak boleh lagi berpura-pura bahwa bencana ini semata-mata akibat hujan ekstrem. Menurutnya, bencana ini adalah akibat dari keputusan-keputusan politik yang meminggirkan keselamatan ekologis.
"JPIK menyerukan agar tragedi ini menjadi titik balik untuk memperbaiki tata kelola hutan Indonesia secara menyeluruh," tandasnya.
Adapun total jumlah korban meninggal akibat bencana di Sumatera itu per Senin malam, 1 Desember 2025 mencapai 604 orang. Rinciannya, 151 korban meninggal di Aceh, 165 korban jiwa di Sumatra Barat, dan 283 di Sumatra Utara.
BNPB juga mencatat 50 kabupaten terdampak dengan 3.500 unit rumah rusak berat, 4.100 unit rusak sedang, dan 20.500 rumah rusak ringan. Sedangkan ada 282 fasilitas pendidikan yang rusak dan 271 jembatan rusak.
"Tim gabungan BNPB, TNI/Polri, Basarnas, kementerian/lembaga serta pemerintah daerah terus bekerja mempercepat operasi pencarian, pertolongan, logistik, dan pembukaan akses wilayah terdampak,” kata Suharyanto salam konferensi pers yang digelar di Pos Pendukung Nasional, Bandara Silangit, Tapanuli Utara, Sumut, 30 November 2025, dikutip dari keterangan resminya.
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah cepat dengan mengirimkan bantuan pangan dan non-pangan seberat empat ton ke wilayah Sumatra Barat. Pengiriman bantuan ini dilakukan melalui jalur udara menggunakan alutsista helikopter, sebagai respons terhadap bencana banjir dan longsor yang melanda daerah tersebut.
Akses darat yang terhalang menjadi alasan utama dipilihnya metode distribusi via udara untuk memastikan bantuan segera sampai ke tangan warga terdampak.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari, menjelaskan bahwa upaya ini merupakan kolaborasi antara pihaknya, TNI, dan Basarnas.
Bantuan tersebut ditujukan ke beberapa kabupaten yang paling parah terdampak, yakni Kabupaten Solok, Agam, dan Pasaman Barat. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberikan penanganan darurat yang efektif dan efisien.