Kisah Warga Hadapi Banjir Aceh Tamiang: Saya Gigit Beras, Minum Air Lumpur, Kayu Luar Biasa Menakutkan - Kompas
Kisah Warga Hadapi Banjir Aceh Tamiang: Saya Gigit Beras, Minum Air Lumpur, Kayu Luar Biasa Menakutkan
ACEH TAMIANG, KOMPAS.com - Air banjir yang datang tiba-tiba pada akhir November 2025 lalu memaksa warga Aceh Tamiang bertaruh nyawa demi menyelamatkan diri dan sesama.
Di tengah arus deras dan listrik padam, solidaritas warga menjadi satu-satunya pegangan untuk bisa bertahan hidup.
Alamsyah, warga Kota Lintang Bawah, Aceh Tamiang, menceritakan detik-detik awal banjir yang melanda permukimannya pada Rabu (26/11/2025).
Saat itu, dia dan keluarganya masih meyakini kondisi di sekitar rumahnya aman.
"Waktu peristiwa awal pertama itu, sudah ada Pak Cik saya rumahnya di Tolangcut. Dia nanya, 'Kondisi kalian di sana macam mana?' Saya bilang, 'Aman. Airnya masih segini-gini,'" kata Alamsyah saat berbincang dengan Kompas.com, Sabtu (13/12/2025).
Namun, hujan angin yang turun pada malam hari mengubah situasi dengan cepat.
Pohon-pohon tumbang, jemuran beterbangan, dan rasa takut menyelimuti rumahnya.
"Begitu hujan angin, pohon kayu pada bertumbangan. Anak-anak tidur ketakutan, takut pohon kelapa tumbang," ujarnya.
Keesokan paginya, yakni Kamis (27/11/2025), air sudah menggenangi bagian belakang rumah.
Ketinggian air naik begitu cepat hingga mencapai kurang lebih 70 sentimeter.
"Pagi mau buka pintu dapur, air sudah di belakang rumah. Cepat memang naik air tadi," ucap Alamsyah.
Dia bersama keluarga kemudian mengungsi ke Kota Lintang Atas yang posisinya lebih tinggi.
Namun, banjir terus meluas hingga memaksa mereka berpindah berulang kali.
"Di sini sudah se-paha saya air. Kami pindah cari yang lebih tinggi. Jam maghrib belum ada air, tetapi jam 12 malam air sudah nyebrang (dari Kota Lintang Bawah ke Kota Lintang)," tuturnya.
Perpindahan dilakukan dalam gelap karena listrik padam.
Alamsyah dan warga lain bahu-membahu membawa barang seadanya yang bisa diselamatkan.
Pada Jumat (28/12/2025) pagi, warga kembali dikejutkan dengan debit air yang naik lagi menjelang subuh dan arus bertambah deras.
"Subuh bangun, sudah berair semua. Datang adik saya bilang, 'Gawat kita nih, Bang.' Pindahlah kita lagi," kata dia.
Dalam situasi darurat itu, Alamsyah mengaku hampir hanyut saat berada di sekitar Kafe Gowa, Jalan Lintas Sumatera.
Ketika itu, warga mulai kekurangan makanan.
Alhasil, Alamsyah nekat menerjang arus demi membantu mendapatkan bahan pangan untuk dia dan warga lainnya.
"Saya pun sempat hampir hanyut juga. Jadi, waktu itu memang saya ada beras sedikit. Tapi, orang yang dekat sebelah-sebelah saya, tetangga tadi, sempat orang tuh bilang gini, 'Bang, kita ikan banyak nih. Ikan-ikan di mobil-mobil tuh kan takut busuk, jadi ikan dibagi-bagi semua orang tuh. Sudah ikan ada, beras enggak ada orang tuh. Minyak makan pun enggak ada. Jadi, disuruhlah minta tolong saya. Pergilah ke Kawasan Pajak tuh," tutur Alamsyah.
Dengan seutas tali yang dipegang warga, Alamsyah menyeberangi arus setinggi satu meter lebih untuk membeli beras demi memenuhi kebutuhan bersama.
Dia membawa beras dan minyak goreng dengan cara digigit agar kedua tangannya bisa memegang tali dengan kuat.
"Saya gigitlah beras sama minyak makan itu. Sempat terminum air lumpur juga," katanya.
Namun, derasnya arus membuat beras 6 kilogram yang dibelinya hanyut terbawa banjir.
"Enggak sanggup saya tahan, beras tadi hanyut. Saya bilang sama ibu-ibu, 'Berasnya sudah saya beli, cuma hanyut.' Mereka bilang, 'Ya sudahlah, belum rezeki kita,'" tutur Alamsyah.

Ancaman Tumpukan Kayu
Kisah perjuangan serupa juga dialami warga Karang Baru, Aceh Tamiang, dan penghuni Pondok Pesantren Darul Mukhlisin.
Mulkana, warga sekaligus pengurus pesantren, menceritakan bahwa banjir bermula dari hujan deras yang berlangsung berhari-hari.
"Rabu hujan lebat, tiga hari sebelumnya. Air awalnya masih jernih, murni kumpulan air hujan," kata Mulkana saat berbincang dengan Kompas.com, Sabtu (13/12/2025).
Saat air terus naik, pihak pesantren mengungsikan diri ke lantai dua bangunan milik warga.
Namun, ancaman datang dari tumpukan kayu yang hanyut bersama banjir.
"Lantai atasnya itu biasa memang dipakai untuk mengungsi. Kami ke atas itu, dari situlah tampak ke wilayah atas pondok kami. Air kan sudah tinggi tuh, kita lihat, eh, kok ada kayu masuk pelan-pelan. Itu bertahap tuh," tutur Mulkana.
"Kami lihat sendiri satu, dua. Itu kami masih logis, maklumlah, biasa sajalah kalau kayu datang, ya. Cuma ternyata enggak berhenti sampai di situ. Itu kayu terus bertambah," sambungnya.
Melihat kondisi itu, dia bersama warga dan santri pondok pesantren pun memutuskan untuk mencari pengungsian dengan lokasi yang lebih tinggi dan jauh.
"Karena luar biasa kayu tadi dan menakutkan gitu, Bang. Kami takut mereka akan menghantam bangunan belakang rumah Pak Haji ini. Karena kita langsung berbatasan kan Pak Haji dengan pondok kan. Maka, kami putuskan untuk mengungsi, tinggalkan tempat itu. Padahal lantai 2 itu enggak kesentuh air. Masih semeter lagi gitu kan," ungkap Mulkana.
Setelah kejadian itu, tumpukan kayu dan lumpur pun memadati kawasan pondok pesantren yang berada di antara pemukiman warga.
Ketinggian setara dengan lantai dua bangunan pondok pesantren.
"Kami benar-benar berdiri di atas kayu. Tingginya sampai lantai dua. Pohon kelapa itu posisinya di bawah kami," kata Mulkana.
Saat banjir terjadi, lanjut Mulkana, sekitar 110 dari total 205 santri masih berada di pesantren dan ikut mengungsi bersama warga karena akses jalan terputus.
Sebab, pihak keluarga kesulitan untuk menjemput para santri karena banyak akses jalan yang terputus dan tidak bisa dilalui kendaraan.
"Anak-anak tidur di tangga, berdiri di tangga. Terngantuk jatuh, berdiri lagi," tuturnya.
Proses penjemputan santri berlangsung bertahap hingga hari ke-10 setelah banjir.
Sebagian santri bahkan baru bisa dijemput oleh keluarga dari luar daerah karena orangtuanya turut terdampak banjir.