Pengamat Nilai Konten Wawali Armuji Bisa Jadi Salah Satu Penyebab Kasus Nenek Elina Meluas - Selalu
selalu.id – Pengamat politik Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Ken Bimo Sultoni, menilai polemik yang mencuat usai konten Wakil Wali Kota Armuji yang menyinggung atribut ormas “Madas” perlu disikapi secara tenang dan proporsional.
Ia menyebut, penyelesaian pascakasus Nenek Erlina seharusnya difokuskan pada hukum, bukan memperluas konflik sosial.
“Premanisme adalah tindakan individual dan jelas melanggar hukum. Fokusnya harus pada pelaku, bukan pada penghakiman identitas, simbol, atau atribut kelompok tertentu tanpa dasar hukum yang jelas,” kata Ken Bimo, saat dihubungi selalu.id, Senin (29/12/2025).
Menurutnya, setiap pernyataan pejabat publik memiliki dampak sosial luas, termasuk potensi memicu stigma jika dikaitkan dengan suatu kelompok.
Karena itu, ia menilai framing yang mengaitkan tindakan kriminal dengan atribut organisasi tertentu harus dilakukan secara hati-hati.
“Jika atribut yang digunakan pelaku bukan atribut resmi organisasi yang dituduhkan, maka penting ada klarifikasi objektif untuk mencegah munculnya generalisasi dan stigma kolektif,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengingatkan agar seluruh pihak, baik pejabat publik, organisasi masyarakat, maupun warga, tidak mengeksploitasi konflik sebagai konten media sosial.
“Konflik sosial bukan ruang untuk sensasi. Ia harus diredam melalui dialog, hukum, dan mekanisme musyawarah,” tegasnya.
Terkait reaksi masyarakat yang mendatangi salah satu kantor setelah konten Armuji viral, Ken Bimo menyebut fenomena tersebut bisa dipahami sebagai efek framing dan pemicu emosi sesaat.
“Konten memang bisa menjadi trigger, tetapi bukan akar konflik. Surabaya secara objektif tidak sedang berada dalam kondisi yang memenuhi syarat terjadinya konflik horizontal besar,” jelasnya.
Ia menegaskan Surabaya adalah kota kosmopolit dengan interaksi lintas suku yang stabil, serta memiliki struktur sosial dan negara yang masih kuat melalui aparat keamanan, pemkot, dan tokoh masyarakat.
“Yang perlu dihindari adalah narasi yang terus mengaitkan tindakan kriminal dengan identitas kelompok atau atribut tertentu karena itu bisa menggeser persoalan dari ranah hukum ke ranah identitas,” pungkasnya
Sementara, Anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, Saifuddin, menilai konten video Wakil Wali Kota Surabaya Armuji yang menyebut nama kawasan Madas telah menimbulkan kegaduhan dan potensi konflik horizontal di masyarakat.
Menurut Saifuddin, persoalan sosial di lapangan kerap menjadi besar bukan karena masalahnya sendiri, tetapi karena dipublikasikan sebagai konten sehingga menimbulkan salah tafsir dan kemarahan berbagai pihak.
“Selama konflik rakyat dijadikan konten, maka konflik kecil semakin besar, konflik besar semakin menggunung. Surabaya ini kota teduh, bukan kota gaduh. Seduluran saklawase,” tegasnya, saat dihubungi selalu.id, Senin (29/12/2025).
Ia mencontohkan bahwa beberapa persoalan besar di Surabaya justru tidak diselesaikan melalui konten, tetapi melalui pendekatan hukum dan dialog, seperti kasus penahanan ijazah, serta konflik parkiran Petra Manyar yang sempat memicu protes warga.
“Dua kasus besar itu akhirnya selesai karena Wali Kota Eri Cahyadi turun langsung. Saya kadang prihatin, Pak Wali tidak ikut makan tapi dipaksa cuci piring,” ujarnya
Editor : Ading