Walhi Aceh Sebut Pembalakan Liar dan Kebun Sawit Jadi Biang Kerok Banjir di Pulau Sumatra - NU Online
Walhi Aceh Sebut Pembalakan Liar dan Kebun Sawit Jadi Biang Kerok Banjir di Pulau Sumatra
NU Online · Selasa, 2 Desember 2025 | 21:30 WIB
Gambar sebagai ilustrasi perkebunan sawit. (Foto: freepik)
Jakarta, NU Online
Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur menyebut bahwa maraknya pembalakan liar dan ekspansi perkebunan sawit menjadi biang kerok atau faktor utama penyebab banjir di Pulau Sumatra yang melanda Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar). Ia menilai, aktivitas tersebut telah mengubah fungsi hutan secara masif dan mengganggu keseimbangan lingkungan.
Ia menjelaskan bahwa pengusaha, korporasi, dan sebagian masyarakat turut memperluas area perkebunan sawit dengan mengganti tumbuhan hutan berumur panjang menjadi tanaman sawit yang memiliki siklus hidup pendek. Kondisi ini membuat kawasan hutan kehilangan kemampuan menampung dan menyerap air.
Nur menegaskan bahwa masyarakat, khususnya pelaku usaha dan pemilik korporasi, harus menghentikan ekspansi lahan sawit di area Hak Guna Usaha (HGU).
Baca Juga
Walhi Sebut Banjir di Pulau Sumatra Akibat Eksploitasi Hutan Sejak Soeharto Jadi Presiden
"Karena biang keroknya, menurut saya yang paling tinggi ini sawit, karena dia yang paling luas. Jadi biang kerok dari sumber banjir bandang dan banjir ini itu, yang tidak terkendali biang keroknya memang sawit dan illegal logging," tegasnya kepada NU Online, Selasa (2/12/2025).
Ia menyebut bahwa konsesi lahan perkebunan sawit di Sumatra mencapai ribuan hektare. Dalam kondisi ideal, area seluas itu dapat berfungsi sebagai daerah resapan air. Namun alih fungsi hutan menjadi kebun sawit membuat tanah justru tidak mampu menahan air dan menjadi lebih mudah bergerak karena kondisi yang lembap.
Menurutnya, pembalakan liar merupakan ancaman yang lebih berbahaya dibanding aktivitas penambangan. Hal ini karena pembalakan liar langsung menyebabkan hutan gundul dan merusak struktur tanah secara menyeluruh.
Ia juga mengingatkan bahwa hutan lindung tidak boleh dimanfaatkan, termasuk tidak boleh dibagikan untuk dikelola masyarakat umum maupun masyarakat adat. Ia menilai kebijakan semacam itu berisiko mempercepat kerusakan hutan.
Baca Juga
GP Ansor-Walhi Desak Pemerintah Keluarkan Pernyataan Darurat Hutan
Selain itu, Nur menyoroti pembangunan infrastruktur oleh pemerintah di daerah rawan bencana. Pembangunan jalan, misalnya, kerap membuka akses bagi aktivitas pembalakan liar dan memperburuk kerusakan lingkungan.
"Kalau ada biaya pembangunan infrastruktur jangan dibangun di wilayah-wilayah rawan bencana. Terutama akses jalan. Karena kalau dibuka jalan pasti ada illegal logging. Kalau ada illegal logging ada sawit. Begitu-begitu saja sebenarnya polanya," ungkapnya.
Usaha menanggulangi bencana
Untuk menghadapi bencana banjir dan tanah longsor di Pulau Sumatra, Nur menekankan pentingnya kesiapsiagaan masyarakat. Masyarakat harus memahami bahwa mereka tinggal di kawasan yang memiliki tingkat kerawanan tinggi.
Baca Juga
Walhi Tanggapi Bumi Selat Malaka yang Terus Alami Perusakan
Ia juga meminta agar anggaran negara yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur dipastikan tepat sasaran, terutama dalam mendukung mitigasi bencana.
"Artinya, infrastruktur yang memakai dana desa maupun dana bantuan lainnya itu betul-betul menjawab bagaimana akses air turun ke laut, tidak menjadi banjir bandang," ucapnya.
Nur menegaskan urgensi reboisasi untuk memulihkan kondisi hutan yang saat ini berada dalam keadaan kritis. Menurutnya, pengusaha dan pemilik korporasi yang selama ini mengambil keuntungan dari sumber daya hutan harus dimintai tanggung jawab untuk berkontribusi dalam pemulihan ekosistem. Konsesi yang merusak harus diminimalisir, bahkan ditutup, sebelum hutan dapat dipulihkan kembali.
Ia juga menekankan bahwa pembangunan infrastruktur tidak boleh dilakukan secara sembarangan, terutama di daerah rawan bencana.
Baca Juga
Data Terbaru Korban Bencana di Aceh, Sumut, Sumbar: 659 Jiwa Meninggal, 475 Orang Masih Hilang
"Tata ruang berbasis bencana harus dikedepankan," terangnya.
Nur berharap pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten lebih serius mempelajari potensi dan risiko bencana yang terus berulang di Indonesia.
"Cukuplah Indonesia belajar di berbagai bencana yang terjadi. Masak pemerintah pusat, provinsi hingga kabupaten tidak belajar tentang bencana, risiko bencana yang datang tiba-tiba, yang berefek pada kerugian besar, harta benda dan nyawa? Masak tidak belajar juga sih pemerintah ini?" ucapnya, dengan melontarkan pertanyaan retoris.