Penjelasan Lengkap DPR soal UU Cipta Kerja, Mulai Aturan Cuti hingga Pesangon
pada 06 Okt 2020, 21:13 WIBLiputan6.com, Jakarta - DPR RI mendapat banyak kecaman dan protes pasca meresmikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) pada Senin, 5 Oktober 2020 kemarin.
Sejumlah serikat pekerja/buruh kompak menolak terbitnya UU Cipta Kerja dengan berbagai alasan. Mulai dari penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), penghapusan hak cuti dan hak upah atas cuti, hingga jadi pintu masuk bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk berbondong-bondong datang ke Indonesia.
Menanggapi deretan penolakan tersebut, DPR coba memberikan rangkuman jawaban kepada Liputan6.com, Selasa (6/10/2020). Dewan Perwakilan Rakyat coba menjawab tiap butir keberatan pekerja atas pengesahan UU Cipta Kerja.
Pertama, soal UMK dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) yang bakal dihapuskan. Menurut penjelasan DPR, upah minimum ditetapkan dengan memperhatikan kelayakan hidup pekerja/buruh dengan mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi daerah.
"Upah Minimum Provinsi (UMP) WAJIB ditetapkan oleh Gubernur. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) TETAP ADA," tulis DPR.
Sementara untuk UMSK, setelah UU Cipta Kerja disahkan, upah minimum sektoral tetap berlaku bagi daerah yang telah menetapkannya. Sehingga untuk pekerja yang telah menerima UMSK yang lebih tinggi dari UMK tidak boleh diturunkan.
Kedua, terkait pengurangan pesangon dari 32 kali menjadi 25 kali. DPR menyebutkan, pemerintah tetap memastikan bahwa pesangon betul-betul menjadi hak dan dapat diterima oleh pekerja/buruh.
Dalam hal ini, UU Cipta Kerja melahirkan skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang tidak mengurangi manfaat dari berbagai jaminan sosial lainnya, seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun.
"JKP tidak menambah beban bagi pekerja/butuh. Program KKP selain memberikan manfaat cash benefit juga memberikan manfaat lainnya yaitu peningkatan skill dan keahlian melalui pelatihan serta akses informasi ketenagakerjaan," papar DPR.
Selain itu, DPR juga menggarisbawahi persyaratan untuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang tetap mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3048454/original/023334900_1581500478-20200212-Elemen-Buruh-Tolak-RUU-Omnibus-Law-1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3259338/original/008895800_1601975313-20201006-Demo-Buruh-4.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar