Waspada! Kekeringan Parah Diprediksi Terjadi Juli-Oktober
Jakarta, Beritasatu.com - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi kekeringan terjadi pada Juli-Oktober 2023. Kekeringan pada semester II ini diprediksi setara dengan kejadian serupa pada 2019 yang tergolong parah.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, penyebab kekeringan tahun ini bukan hanya karena fenomena El Nino melainkan juga oleh fenomena Indian Ocean Dipole positif (IOD+).
“El Nino berdampak pada berkurangnya curah hujan begitu pula dengan fenomena IOD positif. Kombinasi keduanya dapat menyebabkan dampak yang lebih kuat atau signifikan,” kata Dwikorita Karnawati dalam jumpa pers secara daring, Selasa (6/6/2023).
Dua fenomena klimatologi yang bersamaan ini pernah terjadi pada kekeringan parah 2019.
Secara sederhana dapat dijelaskan, El Nino adalah fenomena pemanasan suhu permukaan laut di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik atau sebelah timur Indonesia.
Sedangkan IOD+ adalah perbedaan suhu permukaan laut antara Samudera Hindia bagian barat dan bagian timur. Letaknya ada di barat daya Indonesia.
El Nino dan IOD+ adalah kondisi di mana ada penigkatan suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Sementara suhu permukaan air laut di kepulauan Indonesia lebih rendah ketimbang kedua samudera tadi.
Akibatnya, terjadi aliran massa udara basah dari wilayah Indonesia menuju ke samudera. “Sehingga kita (wilayah Indonesia) kekurangan kelembapan yang mengakibatkan wilayah kita kering. Kering ini menyebabkan pembentukan awan-awan hujan juga terganggu,” kata Dwikorita.
BMKG pada Maret lalu sudah mengungkapkan bahwa intensitas El Nino semakin menguat. BMKG juga mendeteksi adanya IOD indeks yang juga menguat ke arah positif yang artinya serupa dengan fenomena pada 2019.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Untuk bisa membayangkan seberapa berkurangnnya curah hujan, Dwikorita menyebut prediksi pada saat kemarau mendatang, yakni bisa mencapai 20 mm per 30 hari bahkan bisa kurang dari itu.
Sebagai pembanding, curah hujan lebat yang biasa dirasakan warga biasanya mencapai lebih dari 50 mm per hari dan hujan menengan berkisar 30 mm sampai 40 mm per hari. “Itu per hari lho ya. Bayangkan dengan adanya El Nino bisa hanya 20 mm tapi per 30 hari (bukan per hari), bahkan bisa nol,” katanya.
Seberapa Parah Kekeringan 2019?
Kekeringan 2019 menjadi acauan yang dipaparkan Dwikorita pada jumpa pers, Selasa. Seperti apa kekeringan 2019, dapat dilihat pada artikel “Kilas Balik 2019: Kejadian Bencana Terkait Cuaca, Iklim, dan Gempabumi,” yang diterbitkan BMKG.
Disebutkan dalam artikel tersebut, kekeringan saat itu cukup parah salah satunya adalah karena lebih dinginnya suhu permukaan laut di wilayah Indonesia terutama bagian selatan dari kondisi normalnya pada periode Juni - November 2019.
Suhu permukaan laut yang lebih dingin menyebabkan sulitnya pertumbuhan awan yang berpotensi hujan akibat kurangnya kadar uap air di atmosfer akibat rendahnya penguapan dari lautan.
Secara umum, musim kemarau 2019 menunjukkan kondisi lebih kering dari musim kemarau 2018 dan acuan normal klimatologis 1981-2010, meski tidak lebih kering dari kondisi kemarau 2015 saat terjadi El Nino kuat pada waktu itu.
Tingkat kekeringan meteorologis juga ditunjukkan oleh periode tanpa hujan lebih dari tiga bulan (90 hari) yang cukup merata terjadi di Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian besar Jawa.
Daerah Rumbangaru, Sumba Timur, mencatat rekor hari tanpa hujan terpanjang pada tahun itu, yaitu 259 hari.
“Ketika itu (2019) terjadi El Nino lemah diikuti IOD positif kuat. Dampaknya adalah kekeringan parah selama Juli hingga Oktober. Selain itu jumlah kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga meningkat tajam,” kata Dwikorita.
Terdapat setidaknya 4.421 titik karhutla ketika itu.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Komentar
Posting Komentar