Viral Bumi Bakal Gelap 3 Hari Mulai 8 April, Pakar Tegaskan Hoaks
Kamis, 28 Mar 2024 17:38 WIB
Ilustrasi. Pakar membantah Bumi bakal gelap tiga hari, mulai saat gerhana, imbas photon belt. (INDRANIL MUKHERJEE / AFP)
Jakarta, CNN Indonesia --
Beredar kabar yang mengklaim Bumi bakal gelap selama 3 hari mulai 8 April. Para pakar menegaskan kabar tersebut adalah hoaks.
Info hoaks itu diunggah oleh sejumlah akun di platform media sosial TikTok dalam bahasa Inggris di Indonesia hingga Filipina.
Isinya, mengklaim Bumi akan mengalami kegelapan selama 72 jam atau 3 hari mulai dari 8 April 2024 akibat dari fenomena Bumi yang akan melewati Sabuk Foton' (Photon Belt).
Merespons informasi tersebut, Ahli Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin menyebutnya sebagai informasi yang keliru. Tak hanya informasi soal Bumi yang akan gelap, tetapi juga istilah sabuk foton yang digunakan.
"Jelas itu hoaks. Narasi bahwa Bumi memasuki foton belts atau sabuk foton juga tidak dikenal dalam sains," ujar Thomas, dikutip dari akun TikTok pribadinya.
Thomas mengatakan hoaks serupa telah beberapa kali menyebar. Menurutnya, hoaks tersebut menggunakan berbagai alasan yang tidak memiliki dasar ilmiah.
"Hoaks serupa sudah menyebar di Bumi sebelumnya dengan berbagai macam penyebab. Semua alasan penyebab kegelapan Bumi yang disebutkan tersebut tidak punya dasar ilmiah," terangnya.
Lebih lanjut, Thomas menjelaskan bahwa Bumi pernah mengalami masa gelap bertahun-tahun di masa lalu. Hal ini disebabkan oleh tumbukan asteroid.
Namun, kata Thomas, saat ini tidak ada asteroid besar yang mengancam Bumi hingga 100 tahun ke depan.
"Bumi memang pernah mengalami kegelapan total bertahun-tahun karena tumbukan asteroid sebesar 10 kilometer [persegi]. Itu terjadi 66 [juta] tahun yang lalu. Saat ini sampai 100 tahun mendatang tidak ada asteroid besar yang mengancam Bumi," ujar dia, merujuk pada hantaman asteroid yang membuat dinosaurus punah.
Sebagai informasi, pada 8 April beberapa wilayah Bumi memang akan menjadi agak gelap dalam tempo singkat imbas fenomena Gerhana Matahari Total.
Durasi totalitas atau puncak gerhana mataharinya mencapai sekitar 2,5 hingga 4,5 menit, tergantung lokasi.
Peneliti Pusat Riset Antariksa, Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN Farahhati Mumtahana menuturkan fenomena ini tak bisa dinikmati di Indonesia.
"Ada juga fenomena gerhana di tahun 2024, tetapi sayangnya tidak melintas di wilayah Indonesia. Namun dapat dijadikan pertimbangan jika ingin merencanakan wisata atau ekspedisi mengejar gerhana," ujar dia, dikutip dari situs BRIN.
Jalur Gerhana Matahari Total akan dimulai di Samudra Pasifik dan melintasi wilayah Eropa Barat, Amerika Utara, Amerika Selatan, Samudera Pasifik, Atlantik, Arktik.
Menurut lembaga penerbangan dan antariksa AS NASA, Gerhana Matahari Total ini terutama akan bisa dinikmati terutama di Amerika Utara, yakni melewati Meksiko, Amerika Serikat, dan juga Kanada.
Kota-kota yang dilintasinya adalah Texas, Arkansas, Missouri, Illinois, Indiana, Kentucky, Ohio, Pennsylvania, New York, New Hampshire, dan Maine.
Pseudosains
Pagasa, lembaga atmosfer, geofisika, dan astronomi Filipina, mengatakan konsep photon belt itu bukan sains sebenarnya, cuma sains semu alias pseudosains yang kerap dilontarkan para penggemar teori konspirasi.
"Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung keberadaannya (sabuk foton), dan asal usulnya tidak jelas. Para astronom belum mengamati bukti adanya pita foton berenergi tinggi yang mengelilingi galaksi Bima Sakti," kata lembaga, melansir Inquirer.
INFOGRAFIS: DART, Uji Skenario 'Armageddon' ala NASA
"Konon, ketika Bumi melewati sabuk [foton] ini, akan memicu berbagai efek transformatif, baik fisik maupun spiritual. Namun, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung teori ini," cetus Pagasa.
Lembaga sejenis BMKG itu juga menyebut gagasan soal photon belt ini datang dari kalangan metafisis yang tak didukung hukum fisika.
"Lebih jauh lagi, perlu dicatat bahwa gagasan pergerakan Bumi melalui Sabuk Foton yang menghasilkan transformasi substansial pada planet kita tidak didukung oleh hukum fisika yang diketahui."
"Ide ini berasal dari zaman New Age dan kalangan metafisika, sehingga kurang memiliki bukti ilmiah dan dianggap pseudosains oleh komunitas ilmiah," tandas Pagasa.
(lom/arh)
Komentar
Posting Komentar