Covid-19 Picu Negara Pilih-Pilih Mitra Dagang, Indonesia Kena Dampak? - Bisnis Liputan6
Kementerian Perdagangan mencatat ada fenomena perdagangan baru sekitar 2 tahun belakangan ini.
diperbarui 15 Mei 2024, 11:45 WIBDiterbitkan 15 Mei 2024, 11:45 WIB
Petugas beraktivitas di area bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$ 4,37 miliar karena ekspor lebih besar dari nilai impornya. (Liputan6.com/Angga
Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perdagangan mencatat ada fenomena perdagangan baru sekitar 2 tahun belakangan ini. Fenomena tersebut bisa dikatakan banyaknya negara yang mulai pilih-pilih mitra dagangnya.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kemendag, Kasan mengatakan pandemi Covid-19 memicu hadirnya fenomena perdagangan luar negeri tersebut. Hal ini biasa disebut sebagai technology decoupling dan friendshoring.
"Mungkin isu ini muncul juga saya kira impact daripada salah satu bencana yang kita hadapi di seluruh dunia yaitu adanya covid-19," kata Kasan dalam Gambir Trade Talk bertajuk Dampak Kebijakan Technology Decoupling dan Fenomena Friendshoring terhadap Perdagangan Luar Negeri Indonesia, di Jakarta, Rabu (15/5/2024).
Dia mengatakan, dua fenomena di sektor perdagangan itu muncul usai pandemi. Kondisi yang melanda seluruh negara itu berdampak pada buyarnya kegiatan perdagangan antarnegara.
Buyarnya kegiatan perdagangan itu turut berdampak pada rantai pasok global. Alhasil, beberapa negara memutuskan untuk menjalin kerja sama perdagangan dengan negara tertentu yang memiliki kedekatan.
"Jadi saya kira, kalau saya membaca dari beberapa literatur yang ada, isu terminologi ini muncul ya salah satunya juga dipicu oleh adanya Covid-19 yang membuyarkan salah satunya adalah supply chain yang terkonsentrasi didalam salah satu region atau salah satu negara bahkan," bebernya.
Fenomena Baru
Kebijakan technology decoupling dan fenomena friendshoring tadi, kata Kasan, akan berdampak pada kinerja ekspor-impor suatu negara. Terkait dampaknya pada kinerja perdagangan Indonesia, dia menyerahkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang akan dirilis siang ini.
"Tapi dari beberapa lembaga yang sudah memprediksi, surplus kemungkinan akan sedikit menurun dari bulan lalu misalnya, lalu impor akan sedikit naik misalnya, hal-hal seperti ini yang menurut saya sebagai impact dari adanya terminologi soal technology decoupling atau juga friendshoring," urai Kasan.
* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Surplus Neraca Dagang Indonesia Turun
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Surplus ini didapatkan dari ekspor September 2021 yang mencapai US$20,60 miliar dan impor September 2021 yang tercatat senilai US$16,23 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)
Diberitakan sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia masih mengalami surplus pada Februari 2024. Namun, terlihat ada penurunan dari sisi besaran surplusnya menjadi USD 870 juta.
Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan surplus neraca dagang ini memperpanjang tren yang ada.
"Pada Februari 2024, Indonesia kembali mengalami surplus neraca perdagangan sebesar USD 0,87 miliar," kata Amalia dalam Konferensi Pers, di Jakarta, Jumat (15/3/2024).
Dia mengatakan torehan ini melengkapi tren surplus neraca perdagangan RI hingga 46 bulan secara berturut-turut. Meski begitu, dia mengakui ada penurunan dari sisi angka besaran surplus.
Angka Surplus Turun
Aktivitas bongkar muat kontainer di dermaga ekspor impor Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (5/8/2020). Menurut BPS, pandemi COVID-19 mengkibatkan impor barang dan jasa kontraksi -16,96 persen merosot dari kuartal II/2019 yang terkontraksi -6,84 persen yoy. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)
Amalia bilang, angka surplus ini lebih rendah jika dibandingkan dengan periode Januari 2024. Sama halnya dengan angka surplus neraca dagang pada Februari 2023 lalu.
"Surplus ini memperpanjang catatan surplus beruntun menjadi 46 bulan secara berturut-turut, walaupun surplus tersebut lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan bulan yang sama tahun lalu," ujar dia.
Informasi, surplus yang diperoleh dari transaksi perdagangan sektor nonmigas sebenarnya lebih tinggi, yakni USD 2,63 miliar akan tetapi tereduksi oleh defisit perdagangan sektor migas USD 1,76 miliar.
Selama Januari–Februari 2024 sektor migas mengalami defisit USD 3,06 miliar. Namun, masih terjadi surplus pada sektor nonmigas USD 5,93 miliar sehingga secara total mengalami surplus USD 2,87 miliar.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Komentar
Posting Komentar