Dunia Internasional
Trump Permudah Aturan Ekspor Senjata, Dunia Terancam Perang Besar? | Halaman Lengkap
Personel Angkatan Udara AS memuat amunisi pada jet tempur F-16 di Arab Saudi. Foto/us air force
- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump diperkirakan akan menandatangani perintah eksekutif yang akan secara signifikan menyederhanakan aturan yang mengatur ekspor peralatan militer.
Reuters melaporkan hal itu pada hari Selasa (1/4/2025), mengutip empat sumber yang mengetahui masalah tersebut.
Perintah eksekutif, yang diantisipasi akan segera dikeluarkan, kemungkinan akan mencerminkan undang-undang yang diusulkan penasihat keamanan nasional Trump, Michael Waltz, tahun lalu selama masa jabatannya di DPR.
Menurut sumber dari industri senjata dan pemerintah, perintah yang akan datang akan menyerupai RUU Waltz, yang berupaya mengubah Undang-Undang Pengawasan Ekspor Senjata AS.
Amandemen yang diusulkan bertujuan menaikkan ambang batas untuk transaksi yang memicu tinjauan Kongres, dari USD14 juta menjadi USD23 juta untuk transfer senjata dan dari USD50 juta menjadi USD83 juta untuk penjualan yang melibatkan peralatan militer, peningkatan, pelatihan, dan layanan terkait.
Aturan saat ini telah memungkinkan ambang batas yang lebih tinggi untuk anggota NATO dan sekutu utama AS seperti Jepang, Israel, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
Dalam kasus tersebut, pemerintah harus memberi tahu Kongres 15 hari sebelum penjualan, dibandingkan dengan periode pemberitahuan 30 hari untuk negara lain.
Trump telah lama mengkritik hambatan birokrasi seputar penjualan senjata asing dan sering berselisih dengan Kongres selama masa jabatan pertamanya terkait penundaan.
Pada tahun 2019, ia menghindari tinjauan kongres dengan mendeklarasikan keadaan darurat nasional yang terkait dengan ketegangan dengan Iran, yang memungkinkannya mempercepat penjualan senjata senilai lebih dari USD8 miliar ke Arab Saudi, Yordania, dan Uni Emirat Arab.
Kesepakatan dengan Arab Saudi dan UEA telah terhenti selama berbulan-bulan, sebagian besar karena keberatan Kongres atas peran negara-negara tersebut dalam kampanye udara Yaman dan masalah hak asasi manusia menyusul pembunuhan jurnalis Arab Saudi Jamal Khashoggi di konsulat kerajaan di Turki.
Dengan aturan ekspor senjata yang lebih longgar, negara-negara dan kelompok bersenjata lebih mudah mendapatkan persenjataan canggih.
Ini bisa memperburuk konflik yang sudah ada, seperti di Timur Tengah, Eropa Timur, dan Asia Pasifik.
Negara-negara di Timur Tengah bisa lebih mudah membeli senjata untuk konflik di Yaman, Suriah, atau Palestina.
Ukraina dapat memperoleh lebih banyak senjata dalam perang melawan Rusia, yang bisa memicu respons lebih besar dari Moskow.
Taiwan dan negara-negara Asia Tenggara bisa meningkatkan persenjataan untuk melawan China, yang berpotensi memperburuk ketegangan di Laut China Selatan.
Saat AS lebih mudah mengekspor senjata, negara lain juga akan meningkatkan produksi dan pembelian senjata mereka agar tetap kompetitif.
China dan Rusia mungkin akan meningkatkan produksi senjata mereka atau memperluas aliansi militer.
Negara-negara di Eropa, Timur Tengah, dan Asia akan berusaha mendapatkan lebih banyak senjata untuk pertahanan diri.
Perlombaan senjata nuklir bisa meningkat karena lebih banyak negara ingin memastikan mereka memiliki kekuatan militer yang cukup.
Semakin banyak senjata beredar, semakin besar kemungkinan terjadi konflik bersenjata. Negara atau kelompok yang sebelumnya takut menyerang bisa menjadi lebih agresif jika memiliki persenjataan yang cukup.
Misalnya, jika negara A dan negara B sama-sama memiliki persenjataan canggih, mereka bisa lebih mudah tergoda untuk memulai perang.
Tak hanya itu, kelompok pemberontak atau teroris bisa mendapatkan senjata lebih cepat dan memicu instabilitas di berbagai wilayah.
(sya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar