Dunia internasional, Konflik Timur Tengah
Berbagai Risiko yang Mungkin Ditanggung AS Bila Nekat Bom Fasilitas Nuklir Iran di Fordow - Halaman all - Tribunnews


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Surat kabar harian Amerika Serikat (AS) yang berbasis di New York City, The New York Times, mendaftar berbagai risiko yang mungkin ditanggung negeri Paman Sam bila nekat untuk membom fasilitas nuklir bawah tanah Iran di Fordow dalam konflik Israel dan Iran yang saat ini tengah berkecamuk.
Dalam laporan bertajuk U.S. Strike on Iran Would Bring Risks at Every Turn, jurnalis The New York Times yang telah meliput program nuklir Iran, dan upaya untuk mencegahnya memperoleh senjata atom, selama lebih dari dua dekade, David E Sanger, mencoba mengemukakan berbagai risiko yang akan dihadapi AS terkait kemungkinan tindakan tersebut.
Sanger mengatakan skenario pengeboman fasilitas nuklir bawah tanah Iran di Fordow hanya mungkin dilakukan oleh Angkatan Udara AS.
Skenarionya adalah serangkaian pesawat pengebom B-2 lepas landas dari Pangkalan Angkatan Udara Whiteman di Missouri atau pulau Diego Garcia di Samudera Hindia.
Setelah mengisi bahan bakar di udara, mereka akan menuju gunung terpencil di Iran utara atau tengah, jauh dari warga sipil, tempat mereka akan membidik situs nuklir Iran yang dijaga paling ketat, Fordow.
Mereka kemudian menjatuhkan bom penghancur bunker raksasa seberat 30.000 pon (sekitar 13,6 ton), satu demi satu untuk meledakkan lubang raksasa di ruang sentrifus yang telah menjadi sasaran militer AS sejak Presiden Barack Obama.
"Secara teknis, menurut para ahli militer dan geologi, hal itu seharusnya dapat dilakukan," tulis Sanger dilansir dari The New York Times, Rabu (18/7/2025).
Skenario itu menurut Sanger penuh dengan risiko sehingga membuat setiap presiden AS selama 16 tahun terakhir berpikir ulang untuk melakukannya.
Ia memandang alasan Trump hingga kini belum memutuskan melakukannya adalah karena begitu panjangnya hal-hal yang bisa saja salah perhitungan atau bahkan belum lengkap.
Namun menurut Sanger di antaranya ada beberapa risiko yang jelas.
Risiko Pesawat Bomber Ditembak Jatuh
Sanger melihat ada kemungkinan B-2 bisa ditembak jatuh, meskipun Israel berhasil menghancurkan begitu banyak pertahanan udara Iran.
Selain itu, ia juga melihat ada kemungkinan perhitungannya salah, sehingga bom konvensional terbesar yang digunakan AS tidak bisa menembus target yang tersembunyi di bawah tanah itu.
Sanger juga mengutip kata-kata Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Internasional Rafael Grossi yang mengaku pernah ke fasilitas nuklir Iran di Fordow dan mengatakan kedalamannya mencapai setengah mil atau sekitar 800 meter di bawah tanah.
Sekadar informasi, bom penghancur bunker yang disebut-sebut mungkin digunakan AS untuk menyerang adalah Guided Bomb Unit-28 (GBU- 28) (diyakini hanya bisa menembus kedalaman tanah sejauh sekira 50 sampai 60 meter tergantung dari ketebalan struktur).
Sekalipun operasi itu berhasil, Sanger mengatakan banyak ahli berpendapat bahaya terbesar kemungkin terletak pada akibat setelahnya seperti yang terjadi di Afghanistan dan Irak.
Para ahli berpendapat ada banyak pelajaran dari kebijakan luar negeri AS terkait Afghanistan dan Irak yang dinilai buruk itu.
Siklus Serangan
Sanger memandang hal yang paling penting adalah adanya hal-hal yang mungkin tidak diketahui AS dan dapat menjadi bumerang.
Dia mencatat Iran telah bersumpah untuk membalas bila pihaknya diserang oleh pasukan Amerika.
Kemungkinan, kata Sanger, serangan itu ditujukan terhadap pangkalan-pangkalan yang tersebar di Timur Tengah dan aset AS yang terkumpul di Teluk Persia dan Mediterania yang berada dalam jangkauan rudal Iran dengan asumsi Iran memiliki rudal dan senjata yang tersisa setelah Israel selesai dengan serangan mereka.
Tidak hanya itu, serangan itu juga dinilai dapat memicu siklus eskalasi bila warga AS terbunuh, atau bahkan terluka.
Akibatnya, lanjut dia, Trump akan mendapat tekanan untuk membalas dendam.
Sanger juga mengutip mantan duta besar AS untuk Israel Daniel C Kurtzer dan veteran Dewan Keamanan Nasional Steven N Simon yang mengatakan melakukan serangan ke Fordow akan menempatkan AS dalam incaran Iran dan Iran hampir pasti akan membalas dengan membunuh warga sipil Amerika.
Setelah itu, maka satu-satunya target yang tersisa bagi Washington untuk diserang adalah para pemimpin rezim Iran, dan AS akan kembali terlibat dalam urusan pergantian rezim, di mana hanya sedikit orang AS yang ingin terlibat dalam urusan itu.
"Reaksi tersebut dapat mengambil bentuk lain. Iran ahli dalam terorisme, dan bereaksi terhadap serangan siber AS-Israel terhadap program nuklirnya 15 tahun lalu dengan membangun korps siber yang menakutkan, tidak se-sembunyi-sembunyi seperti milik China atau seberani milik Rusia, tetapi mampu menimbulkan kerusakan yang cukup besar," tulis Sanger.
"Dan Iran memiliki banyak rudal jarak pendek yang tersisa untuk menyerang kapal tanker minyak, sehingga transit di Teluk Persia terlalu berisiko," lanjut dia.
Program Nuklir Tak Bisa Dihilangkan
Sanger juga menulis risiko lain yang memungkinkan dari tindakan itu adalah adanya bahaya jangka panjang.
Menurut dia, serangan Israel ke Iran beberapa hari terakhir ini mungkin ditafsirkan oleh para pemimpin Iran atau pihak lain yang punya kemampuan nuklir, adalah mereka seharusnya berlomba mencari bom lebih awal dan lebih sembunyi-sembunyi.
Kata Sanger, hal itu dilakukan Korea Utara yang kini telah memiliki 60 atau lebih senjata nuklir, meskipun telah bertahun-tahun diseret ke ranah diplomasi dan sabotase Amerika untuk menghentikannya.
Persenjataan itu menurut dia cukup besar untuk memastikan bahwa musuh-musuhnya yakni Korea Selatan dan AS akan berpikir dua kali untuk melakukan operasi seperti yang dilakukan Israel terhadap Iran.
Selain itu, kata dia, sejarah menunjukkan bahwa program nuklir dapat dibom, tetapi tidak dihilangkan.
Sanger kemudian mengutip Koordinator Pengendalian Senjata dan Senjata Pemusnah Massal pemerintahan Barrack Obama, Gary Samore, yang mengatakan senjata nuklir dapat dihentikan melalui kekerasan seperti program Suriah.
Selain itu Samore juga mencontohkan setelah Israel mengebom reaktor Osirak di Irak pada tahun 1981 untuk mencegah Saddam Hussein mendapatkan bahan bakar untuk bom, Irak justru menjawabnya dengan membangun program rahasia yang besar yang tidak terdeteksi hingga setelah Perang Teluk pada tahun 1991.
Menurut Samore, tulis Sanger, hal itu sangat memalukan bagi badan intelijen AS sehingga lebih dari satu dekade kemudian Iran meningkatkan kemampuannya untuk melakukannya lagi, yang menyebabkan kegagalan kedua dan membawa AS ke dalam perang Irak.
Samore, kata Sanger, juga mengatakan tidak dapat membayangkan kekuatan udara saja cukup untuk mengakhiri sebuah program nuklir.
Baca juga: Donald Trump Mengatakan AS Memiliki Bom untuk Mengebom Fasilitas Nuklir Fordow Milik Iran
"Itu adalah pertimbangan penting bagi Trump. Ia harus memutuskan dalam beberapa hari ke depan apakah serangan Israel terhadap fasilitas pengayaan (uranium) Natanz milik Iran, dan pembomannya terhadap bengkel tempat pembuatan sentrifus baru dan laboratorium tempat penelitian senjata mungkin dilakukan, cukup untuk menghambat program Iran," kata Sanger.
"Singkatnya, ia harus memutuskan apakah hal itu sepadan dengan risiko besar keterlibatan langsung AS demi keuntungan apa pun yang akan diperoleh dari menghancurkan Fordow dengan pilot, pesawat tempur, dan senjata AS," pungkasnya.
0 Komentar