Ditekan China, Estonia Tak Kunjung Resmikan Kantor Perwakilan Taiwan - SindoNews
4 min read
Ditekan China, Estonia Tak Kunjung Resmikan Kantor Perwakilan Taiwan
Kamis, 27 November 2025 - 08:44 WIB
Menteri Luar Negeri Estonia Margus Tsahkna saat menemui Menteri Luar Negeri China Wang Yi di Beijing. Estonia tak kunjung resmikan kantor perwakilan Taiwan di Tallinn setelah ditekan Beijing. Foto/Kementerian Luar Negeri China
A
A
A
JAKARTA - Perdebatan di dalam pemerintahan Estonia mengenai rencana membuka kantor perwakilan Taiwan di Tallinn semakin memanas. Negara kecil di kawasan Baltik itu kini berada dalam dilema diplomatik yang rumit.
Momennya pun dinilai sangat simbolis, karena Menteri Luar Negeri Estonia Margus Tsahkna tengah melakukan kunjungan resmi ke China. Di saat yang sama, China meningkatkan tekanan agar Estonia tidak mengikuti jejak Lithuania dalam mempererat hubungan dengan Taipei.
Selama ini, China dikenal menggunakan kombinasi bujukan dan tekanan untuk memengaruhi keputusan negara-negara kecil dalam isu sensitif seperti Taiwan. Dalam kasus Estonia, Beijing menampilkan pendekatan diplomatik yang dibalut ancaman ekonomi tersirat.
Baca Juga: Ribut dengan China, Jepang Siap Kerahkan Rudal ke Deka Taiwan
Dikutip dari European Times, Kamis (27/11/2025) Kementerian Luar Negeri China telah menyatakan “bersedia melakukan diskusi praktis dengan Estonia untuk meningkatkan saling pengertian dan hubungan bilateral.”
Pernyataan tersebut kembali membayangi keputusan Estonia untuk mengizinkan Taiwan membuka kantor perwakilan de facto di Tallinn, yang sejatinya telah tertunda hampir dua tahun akibat perbedaan pandangan soal penamaan kantor tersebut.
Pada 2023, Estonia sebenarnya telah memberikan izin prinsip, namun kebimbangan politik dan birokrasi, yang dipengaruhi kekhawatiran terhadap reaksi China, membuat kantor itu belum juga resmi beroperasi.
China menyadari betul bahwa langkah tersebut, meski bersifat simbolis, tetap memiliki konsekuensi politik yang besar. Kehadiran kantor Taiwan di Tallinn, walau tidak berstatus kedutaan resmi, akan menjadi sinyal kuat meningkatnya kesediaan negara-negara Eropa untuk berhubungan dengan Taiwan di tengah keberatan Beijing—sesuatu yang ingin dicegah oleh China dengan segala cara.
Bagi Estonia, persoalan Taiwan tidak sekadar menyangkut protokol diplomatik, tetapi juga menyentuh jati diri strategis negara itu. Sebagai anggota Uni Eropa dan NATO, Estonia selama ini dikenal sebagai pendukung kuat nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Namun di sisi lain, China merupakan mitra dagang penting yang tidak bisa diabaikan, terutama terkait potensi balasan ekonomi jika Estonia mengambil langkah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan Beijing.
Momennya pun dinilai sangat simbolis, karena Menteri Luar Negeri Estonia Margus Tsahkna tengah melakukan kunjungan resmi ke China. Di saat yang sama, China meningkatkan tekanan agar Estonia tidak mengikuti jejak Lithuania dalam mempererat hubungan dengan Taipei.
Selama ini, China dikenal menggunakan kombinasi bujukan dan tekanan untuk memengaruhi keputusan negara-negara kecil dalam isu sensitif seperti Taiwan. Dalam kasus Estonia, Beijing menampilkan pendekatan diplomatik yang dibalut ancaman ekonomi tersirat.
Baca Juga: Ribut dengan China, Jepang Siap Kerahkan Rudal ke Deka Taiwan
Dikutip dari European Times, Kamis (27/11/2025) Kementerian Luar Negeri China telah menyatakan “bersedia melakukan diskusi praktis dengan Estonia untuk meningkatkan saling pengertian dan hubungan bilateral.”
Pernyataan tersebut kembali membayangi keputusan Estonia untuk mengizinkan Taiwan membuka kantor perwakilan de facto di Tallinn, yang sejatinya telah tertunda hampir dua tahun akibat perbedaan pandangan soal penamaan kantor tersebut.
Pada 2023, Estonia sebenarnya telah memberikan izin prinsip, namun kebimbangan politik dan birokrasi, yang dipengaruhi kekhawatiran terhadap reaksi China, membuat kantor itu belum juga resmi beroperasi.
China menyadari betul bahwa langkah tersebut, meski bersifat simbolis, tetap memiliki konsekuensi politik yang besar. Kehadiran kantor Taiwan di Tallinn, walau tidak berstatus kedutaan resmi, akan menjadi sinyal kuat meningkatnya kesediaan negara-negara Eropa untuk berhubungan dengan Taiwan di tengah keberatan Beijing—sesuatu yang ingin dicegah oleh China dengan segala cara.
Bagi Estonia, persoalan Taiwan tidak sekadar menyangkut protokol diplomatik, tetapi juga menyentuh jati diri strategis negara itu. Sebagai anggota Uni Eropa dan NATO, Estonia selama ini dikenal sebagai pendukung kuat nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Namun di sisi lain, China merupakan mitra dagang penting yang tidak bisa diabaikan, terutama terkait potensi balasan ekonomi jika Estonia mengambil langkah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan Beijing.
Sikap Tegas Lithuania
Sejumlah pakar menilai Estonia dapat belajar dari pengalaman Lithuania. Negara itu menunjukkan sikap tegas terhadap tekanan China pada 2021, yang kemudian dipandang sebagai salah satu contoh paling menonjol ketahanan demokrasi dalam beberapa tahun terakhir.
Lithuania kala itu mengizinkan pembukaan “Taiwanese Representative Office” di Vilnius. Penggunaan kata “Taiwanese”, alih-alih “Taipei” seperti lazimnya, ditafsirkan China sebagai tantangan langsung terhadap kebijakan "Satu-China".
China kemudian menurunkan tingkat hubungan diplomatik dengan Lithuania, memblokir masuknya barang-barang Lithuania di pelabuhan China, serta secara efektif menghapus negara itu dari basis data bea cukai.
Beijing juga menekan perusahaan multinasional agar memutus rantai pasok dengan pemasok asal Lithuania. Langkah ini disebut sebagai contoh klasik pemaksaan ekonomi terhadap negara kecil yang berani menentang kekuatan besar.
Meski demikian, Lithuania bergeming. Para pemimpinnya tetap bertahan dengan keputusan tersebut dan membingkainya sebagai persoalan kedaulatan serta solidaritas demokrasi. Menteri Luar Negeri Lithuania saat itu, Gabrielius Landsbergis, bahkan menegaskan, “Kami tidak akan diintimidasi oleh rezim otoriter,” sebuah pernyataan yang menggema luas di Eropa.
Dukungan Uni Eropa menjadi faktor kunci di balik ketahanan Lithuania. Uni Eropa membawa kasus ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dengan tuduhan praktik dagang diskriminatif oleh China, serta memberikan bantuan finansial dan politik untuk meredam dampak ekonomi yang dialami Lithuania.
Solidaritas tersebut justru memperkuat persatuan internal Uni Eropa dan mendorong percepatan pembahasan instrumen “anti-coercion” untuk melindungi negara-negara anggotanya dari tekanan ekonomi eksternal.
Lithuania kemudian berhasil mendiversifikasi perdagangannya, menarik investasi dari mitra sehaluan seperti Amerika Serikat dan Jepang, serta memperdalam hubungan dengan Taiwan, yang membuka dana kredit sebesar USD200 juta untuk mendukung proyek bersama.
Menariknya, Lithuania kini secara hati-hati menjajaki normalisasi hubungan dengan China, namun menegaskan tidak akan meninggalkan hubungan dengan Taiwan. Model ketahanan ini, yang memadukan diplomasi dan keyakinan demokratis, dinilai dapat menjadi rujukan bagi negara lain, termasuk Estonia.
Dilema Estonia
Kini, Estonia dihadapkan pada keputusan yang akan membentuk arah kebijakan luar negerinya dalam jangka panjang. Jika pemerintah melanjutkan rencana pembukaan kantor Taiwan di Tallinn, Estonia akan mengirimkan pesan bahwa nilai-nilai tidak dapat ditukar dengan kenyamanan ekonomi.
Namun jika memilih menunda atau mundur, Estonia berisiko terlihat rapuh terhadap tekanan dan melemahkan kredibilitas respons kolektif Eropa terhadap pemaksaan oleh negara otoriter.
Bagi China, keberhasilan menggagalkan langkah Estonia mengikuti jejak Lithuania akan menjadi kemenangan simbolis, sekaligus penanda bahwa Beijing masih memiliki pengaruh di Eropa, meski skeptisisme terhadap metode tekanannya terus meningkat.
Pada akhirnya, dilema Estonia bukan semata soal sebuah kantor perwakilan atau istilah diplomatik, melainkan tentang bagaimana negara-negara demokrasi merespons tekanan otoriter dan bagaimana negara kecil mempertahankan martabatnya dalam tatanan global yang timpang.
(mas)