Moratorium kelapa sawit berakhir, UU Cipta Kerja ambil alih - apa dampaknya? - BBC News Indonesia
Pemerintah belum mengumumkan apakah akan memperpanjang atau menyudahi moratorium kelapa sawit, yang habis masa berlakunya pada 19 September 2021. Di tengah ketidakpastian ini, UU Cipta Kerja berlaku. Pegiat lingkungan memperingatkan celah ini bisa menjadi keran pemberian perizinan baru.
Menurut laporan koalisi Moratorium Kelapa Sawit yang beranggotakan sejumlah LSM lingkungan hidup, pemerintah Papua Barat dan KPK telah menelaah ulang perizinan 30 perkebunan kelapa sawit selama setidaknya dua tahun terakhir. Hasilnya, perizinan 14 perusahaan kelapa sawit dicabut dengan total luas lahan hampir mencapai 270.000 hektare.
Direktur Eksekutif dari Indonesian Centre of Environmental Law atau ICEL, Raynaldo G Sembiring menganggap hal itu adalah contoh keberhasilan dari moratorium sawit.
"Sehingga mereka [para kepala daerah] melakukan preview perizinan dan menghentikan usaha-usaha yang tidak memenuhi syarat-syarat administratif dan syarat-syarat substantif," kata Raynaldo lewat sambungan telepon.
Deputi bidang koordinasi pangan dan agribisnis Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Machmud, menyebut laporan hasil evaluasi moratorium sawit telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.
Ditanya lebih lanjut kapan akan ada jawaban terhadap laporan hasil evaluasi itu, Musdhalifah menjawab melalui pesan singkat: "Kita tunggu saja."
Baca juga:
UU Cipta Kerja dikhawatirkan 'membegal' capaian moratorium sawit
Baru-baru ini, bupati Kabupaten Sorong, Papua Barat mencabut empat izin perusahaan kelapa sawit di wilayahnya. Laporan koalisi Moratorium Kelapa Sawit mengatakan bahwa lahan yang berasal dari tanah adat itu akan dikelola kembali oleh masyarakat adat.
Menurut Raynaldo dari ICEL, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas [moratorium sawit] memberi dasar yang kuat bagi kepala daerah untuk membenahi perizinan kelapa sawit di wilayahnya.
"Inpres ini memberikan satu semangat baru bagi para kepala daerah untuk melakukan pengelolaan hutan yang lestari," katanya.
Namun pencapaian dari moratorium sawit dikhawatirkan sia-sia.

Sebagaimana dilaporkan kantor berita Reuters, pasca berakhirnya moratorium sawit, Deputi bidang koordinasi pangan dan agribisnis Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Machmud, mengindikasikan Indonesia akan menggunakan regulasi yang sudah ada, yakni UU Cipta Kerja.
Akan tetapi, Omnibus law itu tidak mengatur mengenai penangguhan pemberian izin baru pada perkebunan kelapa sawit. Sementara, PP nomor 26 tahun 2021 yang merupakan turunan dari UU Cipta kerja, mengatur batasan luas komoditas perkebunan strategis. Dalam PP tersebut, luas perkebunan kelapa sawit diizinkan mencapai minimal 6.000 hektare dan maksimal 100.000 hektare.
Ketika ditanya oleh BBC News Indonesia, apakah izin perkebunan sawit baru bisa diberikan menggunakan dasar hukum tersebut, Musdhalifah menjawab "Semua harus sesuai dengan peraturan yang ada; silahkan baca aturannya."
Di sisi lain, dalam diskusi daring bertajuk Moratorium Sawit: Apa Setelah Tenggat 3 Tahun yang digelar pada Kamis (23/09), Sekretaris Jenderal Kementan, Kasdi Subagyono, menyetujui kelanjutan moratorium sawit.
BBC News Indonesia telah menghubungi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan Kementerian Pertanian untuk wawancara, namun tidak mendapatkan respons.
Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berpendapat moratorium kelapa sawit sebaiknya dibicarakan dengan Kementerian Pertanian dan Kemenko Perekonomian.

Inda Fatinaware selaku Direktur Eksekutif LSM Sawit Watch yang memantau keberlanjutan sawit, tidak menyambut baik jika UU Cipta Kerja mengatur perizinan lahan kelapa sawit.
"Perbaikan yang dilakukan melalui moratorium sawit di tengah jalan 'dibegal' oleh UU Cipta Kerja," kata Inda kepada BBC Indonesia melalui pesan singkat.
Direktur Eksekutif dari Indonesian Centre of Environmental Law atau ICEL, Raynaldo G Sembiring, mengamini pendapat tersebut. Sebab, menurutnya, UU Cipta Kerja bertujuan untuk memberikan kemudahan berusaha dalam bentuk penyederhanaan dan percepatan perizinan.
Bony, staf riset pengembangan LSM Sawit Watch, menduga akan ada banyak perusahaan yang mengantre moratorium berakhir.
"Ini kan tinggal menunggu keran saja, kalau sudah begini cepat ini [mengurus perizinan baru]," katanya. "Saya pikir ini sudah lama antre, ketika ada peluang ini pasti dipercepat."
Selama moratorium sawit tidak diperpanjang, Sawit Watch juga mewaspadai peluang meningkatnya deforestasi seiring dengan pemberian izin lahan perkebunan sawit baru.
Moratorium selama tiga tahun dianggap tidak cukup
Berdasarkan catatan Greenpeace, seluas 4,4 juta hektare lahan atau setara delapan kali luas Pulau Bali terbakar antara tahun 2015 sampai 2019.
Sebanyak 30% di antaranya berada di konsesi kelapa sawit dan pulp atau bubur kertas.
Kepada BBC News Indonesia, ketua tim kampanye hutan Greenpeace, Arie Rompas, mengatakan setelah 2019 tidak ada kebakaran signifikan.
Namun Arie tidak bisa memastikan apakah ini bagian dari keberhasilan moratorium atau bukan.
"Tidak ada dampak langsung dari moratorium sawit, karena tidak ada evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah selama moratorium yg dipublikasikan," kata Arie.
"Kecuali pencabutan izin oleh pemprov Papua Barat yang berujung pencabutan izin sawit. Itu yang signifikan."

Menurut Sawit Watch, keseriusan kepala daerah seperti di Papua Barat juga terlihat di wilayah-wilayah lainnya. Keseriusan ini harus diimbangi komitmen yang sama kuatnya dari pemerintah.
"Banyak tugas-tugas yang diamanahkan di inpres ini belum terselesaikan. Kita sadari waktu tiga tahun tidak cukup untuk melakukan itu semua [maka] penting moratorium sawit diperpanjang dan diperkuat," jelas Inda.
Keterbukaan data pun menjadi hal yang disoroti selama pemberlakuan moratorium tiga tahun ke belakang. Pemerintah dinilai masih memiliki 'pekerjaan rumah' untuk memberikan akses informasi yang jelas kepada publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar