Insinyur Indonesia Kecewa, Korea Selatan Larang Akses Teknologi dan Studi KF-21 Boramae yang Terkait Amerika - Zona Jakarta
Insinyur Indonesia Kecewa, Korea Selatan Larang Akses Teknologi dan Studi KF-21 Boramae yang Terkait Amerika
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fassets.pikiran-rakyat.com%2Fcrop%2F0x0%3A0x0%2Fx%2Fphoto%2F2021%2F10%2F06%2F2267362517.jpg)
Zonajakarta.com- Indonesia telah setuju untuk menanggung 20 persen dari biaya pengembangan pesawat tempur baru KF-21 Boramae dengan Korea Selatan.
Tetapi Indonesia kemudian disebut berhenti melakukan pembayaran kewajiban pengembangan KF-21 Boramae ke Korea Selatan, dengan jumlah pembayaran yang telah jatuh tempo saat ini mencapai 704,1 miliar won (US$586 juta).
Menanggapi hal tersebut, dikutip Zonajakarta.com dari Yonhap, Kang Eun-ho, kepala Administrasi Program Akuisisi Pertahanan (DAPA), membuat pernyataan selama sesi audit parlemen, di tengah kekhawatiran yang tersisa tentang apakah Indonesia akan terus memenuhi komitmennya terhadap proyek 8,8 triliun won (US$7,3 miliar), yang disebut IF-X alias KF-21 Boramae.
"Saya yakin bahwa (pembicaraan) masalah pembayaran yang terlambat akan diselesaikan pada November," kata Kang kepada anggota parlemen.
"Kami akan menyelesaikannya saat itu," ujarnya.
Indonesia menanggung sekitar 1,45 miliar dolar AS (Rp 20,5 triliun) biaya pengembangan KF-21 Boramae.
Dengan dana Rp 20 triliun itu Indonesia akan menerima 50 unit KF-21 Boramae dari total nantinya 150 unit yang dibangun pada batch pertama.
Tapi kabar tak mengenakkan datang dimana Indonesia diberitakan menunggak pembayaran untuk kedua kalinya dalam proyek ini.
Hal itu disampaikan oleh situs donga.com dimana Indonesia gagal melaksanakan perjanjian pembagian biaya proyek KF-21 Boramae.
Indonesia masih kurang membayar 589 juta dolar AS.
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fassets.pikiran-rakyat.com%2Fcrop%2F0x0%3A0x0%2Fx%2Fphoto%2F2021%2F10%2F19%2F405448907.jpg)
Padahal pada paruh pertama tahun ini Indonesia diwajibkan menuntaskan pembayaran sebesar 799 juta dolar AS namun hingga kini setoran Jakarta baru di angka 210 juta dolar AS dari total kewajiban membayar yakni 1,45 miliar dolar AS.
Padahal dalam perjanjian ada pasal jika Indonesia menunggak pembayaran sebanyak dua kali dan telah terjadi maka kontribusi Indonesia dalam proyek KF-21 Boramae akan dikurangi.
Kemudian pada April 2021 lalu saat Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto berkunjung ke Seoul, ia bertemu dengan penanggung jawab program, DAPA, yang membawahi pengembangan KF-21 Boramae.
Dilaporkan oleh donga.com jika Prabowo menyampaikan agar porsi kontribusi Indonesia dalam pembuatan KF-21 Boramae dikurangi.
Kemudian Indonesia juga meminta skema pembayaran disesuaikan hingga perpanjangan pembayaran.
"Perjanjian tersebut meminta pengurangan porsi kontribusi Indonesia untuk proyek tersebut, penyesuaian metode pembayaran dan perpanjangan jangka waktu pembayaran," lapor donga.com.
Karena Presiden Jokowi sendirilah yang memerintahkan negosiasi ulang hingga menata ulang kontribusi Indonesia pada program KF-21 Boramae.
Hal ini menjadi pertanda jika nantinya Indonesia tidak akan menerima 100 persen alih teknologi pembuatan KF-21 Boramae.
Tentu saja ini menjadi kerugian bagi Jakarta karena Indonesia sejatinya lebih mementingkan alih teknologi KF-21 Boramae.
Indonesia bahkan menyiapkan 100 insinyur terbaiknya untuk mengais ilmu pengembangan KF-21 Boramae.
Dikutip dari Yonhap, insinyur Indonesia yang terlibat dengan program KF-21 Boramae dan sempat meninggalkan Korea Selatan akibat pandemi Covid-19 itu pun kini sudah kembali pada Agustus 2021.
Menurut Administrasi Program Akuisisi Pertahanan, 32 insinyur Indonesia tersebut menjalani prosedur administrasi, seperti aplikasi visa, untuk kembali ke markas Korea Aerospace Industries di kota selatan Sacheon.
“Pemerintah Indonesia menegaskan kembali komitmennya yang berkelanjutan untuk pengembangan bersama KF-21/IF-X, dan mencari kerja sama agar para insinyurnya segera kembali ke Korea Selatan,” kata badan tersebut dalam sebuah rilis.
Dimulai dengan 32 insinyur, sekitar 100 personel akan kembali ke pabrik Sacheon pada akhir tahun.
PT Dirgantara Indonesia menempatkan beberapa tenaga kerja atau insinyur Indonesia dalam prosesnya.
Namun, nyatanya Indonesia justru dibatasi dalam proses pengembangan tersebut.
Hal ini diungkapkan oleh salah satu pekerja kepada Defense News pada Mei 2018.
"Terus terang delegasi Indonesia dilarang mengakses banyak bagian dari teknologi dan studi KF-X, terutama yang berkaitan dengan Amerika Serikat," tulis aerotime.aero.***ZJ