HUT RI ke-77: Kesaksian WNI jadi ABK di kapal China - Merdeka di tanah sendiri, menjadi ‘budak’ di negeri orang - BBC News Indonesia
HUT RI ke-77: Kesaksian WNI jadi ABK di kapal China - Merdeka di tanah sendiri, menjadi ‘budak’ di negeri orang - BBC News Indonesia
Kesaksian WNI jadi ABK di kapal China - Merdeka di tanah sendiri, menjadi ‘budak’ di negeri orang
Sejumlah pemuda asal Aceh mengaku tergiur iming-iming gaji besar dan bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) berbendera China. Sempat bertahan dalam kondisi “seperti perbudakan dan penuh penyiksaan”, pegiat HAM mengatakan negara harus hadir.
Muhammad Sidik, 28 tahun, berkata tidak akan pernah lagi tergiur untuk bekerja di kapal asing, betapa pun besar iming-iming gaji yang ditawarkan.
Pengalamannya pada 2019, sebut dia, adalah “kesalahan terbesar dan tidak akan diulangi lagi”.
Tiga tahun lalu, Sidik sebetulnya sudah bekerja sebagai Tenaga Harian Lepas (THL) di salah satu kantor pemerintahan Kota Lhokseumawe dengan gaji Rp300 ribu per bulan.
Pertemuannya dengan seorang agen, orang yang dipercaya dan telah dikenalnya sejak lama, mengubah jalan hidupnya. Agen itu menawari Sidik bekerja di atas kapal penangkap cumi-cumi asal China dengan gaji pokok sebesar US$300 per bulan, atau sekitar Rp4,2 juta.
“Katanya, panjang kapal 150 meter dan pekerjaan [di kapal] dilakukan oleh robot,” cerita Sidik kepada wartawan Aceh, Hidayatullah, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Bertekad untuk memperbaiki kondisi ekonomi, pada Mei 2019, Sidik mengemasi pakaian dan berangkat dari Aceh ke Jawa untuk bersiap menjadi ABK.
Dari Pulau Jawa, setelah menunggu pengurusan berbagai dokumen dan kontrak kerja, dia dan beberapa orang lain dikirim ke Beijing untuk selanjutnya menunggu keberangkatan kapal penangkap cumi yang dijanjikan.
Baru naik geladak, Sidik segera menyadari bahwa janji-janji sebelumnya adalah bohong. Kapal yang ditumpanginya hanya sepanjang 75 meter dan seluruh pekerjaan dilakukan secara manual oleh ABK seperti dia.
Kehidupan di tengah laut yang keras langsung menghadapinya.
“Ada satu pengatur ABK yang arogan. Misalnya, ketika kami sakit, tetap disepak [ditendang] disuruh kerja. Kami tidak bisa melawan, karena jumlah [ABK dari Indonesia] hanya empat orang, sementara orang China ada 28 orang,” kata Sidik.
Di atas semua penyiksaan itu, Sidik dan teman-temannya juga kerap tidak diberi makanan yang layak. Kerap kali, mereka harus mengonsumsi makanan yang sudah membusuk.
“Ayam sudah hijau, tapi bagaimana lagi, kalau tidak makan ya, mati.”
Selama nyaris setahun melaut itu, Sidik juga tak bisa berkontak dengan keluarganya. Sampai-sampai Kasniati, ibu Sidik, sempat berpikir anak pertamanya itu telah meninggal dunia dan jenazahnya dilarung di laut – seperti dalam video yang viral pada 2020.
“Saya sedih dan terus menangis karena tidak bisa menghubungi dia. Saya sempat juga berfikir seperti itu, bahwa anak saya meninggal lalu dibuang ke laut,” kata Kasniati.
Tapi Sidik selamat dan akhirnya bisa pulang ke Aceh. Meski, gaji yang ditunggu-tunggu ternyata tak dibayarkan dengan penuh.
“Total saya terima hanya lebih kurang Rp2,5 juta,” sebutnya.
‘Dipukul, disiksa, dan dilarung’
Nasib serupa dialami Iqbal Wardana, 30 tahun, warga Aceh lain.
Iqbal yang sebelumnya bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan logistik swasta, sedianya sudah menjadi kepala cabang bila dia tak memilih mengundurkan diri pada 2019.
Sama seperti Sidik, dia tergiur tawaran gaji yang lebih besar dari bekerja di kapal China. Namun, “Semuanya sia-sia. Gaji tidak saya terima. Saya hanya menerima sekitar 10 persen saja untuk ongkos pulang.”
Padahal rencananya, uang dari melaut ini akan dipakai untuk mendirikan rumah untuk orang tuanya. Selama ini, tambah dia, mereka masih mengontrak.
Di penghujung tahun 2019, Iqbal bertolak ke Singapura untuk naik kapal yang membawanya bekerja di sebuah kapal China secara legal. Dia berangkat bersama beberapa orang lain, salah satunya Zulfahmi, 29 tahun.
Pada 2020, kapal tempat mereka bekerja tak bisa bersandar ke pelabuhan China karena pembatasan Covid-19. Saat itulah mereka kemudian dipindahkan ke kapal ikan lebih kecil, yang sama-sama berawak China.
“Kerja di kapal itu, seperti perbudakan. Ada penyiksaan, tidak manusiawi dan tidak layak,” kata Iqbal.
“Pindah ke kapal kedua, kapalnya jelek. Kerja semakin tidak enak, makan semakin tidak enak, semua-semua tidak enak,” kata Zulfahmi.
Di kapal itu, lanjut dia, setiap hari mereka hanya diberi waktu satu jam untuk beristirahat. Untuk makan, “Harus nyolong-nyolong ikan, lalu dibakar di knalpot.”
Sementara itu, penyiksaan juga terjadi di kapal tersebut. Seorang rekan mereka, kata Zulfahmi, meninggal dunia karena kondisi yang begitu buruk.
“ABK Indonesia dipukul, ditendang. Ada yang kelelahan bekerja sampai sakit, tapi tetap dipaksa kerja sampai meninggal dunia.”
Dalam kontrak kerja yang ditandatangani sebelum mereka berangkat, Zulfahmi mengatakan seharusnya ABK yang meninggal dunia di atas laut dipulangkan dan diberi asuransi senilai sekitar Rp200 juta.
“Tapi faktanya, ada yang dibuang [dilarung] ke laut, dan asuransi tidak diberikan,” sebut dia.
“Sudah [gaji] tidak sesuai janji, malah pulang kami diselundupkan. Kami dijemput ferry kecil [di tengah laut], jadi kami diselundupkan ke Batam oleh agen,” terangnya.
'Tidak ada pengawasan'
Sidik, Iqbal, dan Zulfahmi berhasil pulang ke Indonesia dalam keadaan masih bernyawa.
Akan tetapi, berdasarkan catatan Destructive Fishing Watch (DFW), sebanyak 35 ABK Indonesia di kapal perikanan asing meninggal dunia dalam periode November 2019 hingga Maret 2021.
Penyebab meninggalnya ABK antara lain karena sakit, mengalami kekerasan berupa pemukulan dan penyiksaan, pembunuhan, dan karena kondisi kerja dan makanan yang tidak layak.
Dari 35 orang tersebut, menurt DFW, mayoritas bekerja di kapal ikan China, menyusul Taiwan dan negara lain seperti Vanuatu.
Pada 2020, empat ABK Indonesia yang bekerja di kapal Long Xing 629 meninggal dunia – tiga dilarung dan satu meninggal di fasilitas kesehatan di Busan, Korea Selatan.
Ketika itu, video para ABK melarung jenazah teman mereka tersebar dan menjadi viral. Menyusul video tersebut, pemerintah Indonesia sempat menjajaki opsi moratorium pengiriman ABK Indonesia ke kapal asing.
Namun penghentian sementara pengiriman ABK itu tak pernah terjadi karena sejumlah alasan. Pemerintah juga berkata, moratorium pengiriman ABK legal tidak akan menyelesaikan masalah, karena banyak orang berangkat melalui jalur ilegal.
Rumoh Transparansi, lembaga nirlaba yang berbasis di Aceh, mencatat sejak tiga bulan terakhir ada sekitar 26 warga Aceh yang menjadi ABK di kapal asing yang disalurkan oleh berbagai agen yang ada di sejumlah kota di Pulau Jawa, seperti Bekasi dan Tegal.
Mereka menjadi “korban perbudakan di atas kapal perikanan”, menurut Chrisna Akbar, Direktur Rumoh Transparansi.
“Ada satu kasus warga Aceh dilarung di Perairan Chili pada 2018. Lalu baru-baru ini ada penyelundupan jenazah warga Aceh melalui Batam,” kata Chrisna, menambahkan bahwa ini adalah bukti dari ketiadaan pengawasan pemerintah.
Saat ini, lanjut Chrisna, ada sekitar 20 orang warga Aceh yang menjadi ABK di kapal asing dan sedang menunggu keberangkatan.
“Mereka akan bernasib sama dengan pendahulunya. Lama menunggu waktu naik kapal, dokumen diurus perusahaan, biaya pengurusan dokumen dipotong dari gaji, kemudian tidak dipenuhi hak-haknya,” tukasnya.
Namun Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan (DKP3) Kota Lhokseumawe, mengaku tidak memiliki data berapa banyak warga Aceh yang menjadi ABK kapal asing.
Menurut Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP3 Kota Lhokseumawe, Noviyanti Rahmi, keberangkatan ABK tidak dilaporkan kepada organisasinya. Ini juga, kata dia, yang membuat pengawasan sulit dilakukan.
“Kami harapkan mereka melapor, agar kami punya data berapa orang yang telah berangkat, di mana posisi, berapa pendapatannya, apakah cukup untuk mereka sendiri, jangan sampai nanti tidak sesuai dengan harapan, atau malah jatuh ke human trafficking,” kata Noviyanti.
‘Belum sepenuhnya merdeka’
Menurut Direktur Rumoh Transparansi Chrisna Akbar, aturan undang-undang terkait perlindungan ABK yang bekerja di kapal asing sudah “sangat kompleks”, namun masih butuh pengimplementasian dan pengawasan dari pemerintah.
“Pekerja kita yang bekerja di atas kapal perikanan belum sepenuhnya merdeka, artinya negara harus hadir, harus memberikan perlindungan,” kata Chrisna.
Zulfahmi, mantan ABK di kapal China, juga berharap pemerintah mengontrol dan memberantas perusahaan agen ilegal yang aktif merekrut anak-anak muda dengan iming-iming gaji dolar.
“Semoga orang-orang Indonesia tidak terjajah lagi di luar negeri, seperti yang saya alami bekerja di kapal asing,” kata dia.
“Harapan saya, semoga pemerintah lebih tegas dan bisa memberikan jaminan pada ABK supaya bisa bekerja dengan tenang dan nyaman,” tutup Iqbal.
Wartawan di Aceh, Hidayatullah, berkontribusi pada laporan ini.
Komentar
Posting Komentar