Penolakan Pengungsi Muslim Rohingya di Aceh Menjadi Sorotan Media Arab: Awalnya Terima, Kini Nolak - Serambinews

Penolakan Pengungsi Muslim Rohingya di Aceh Menjadi Sorotan Media Arab: Awalnya Terima, Kini Nolak - Serambinews.com

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Ansari Hasyim
Penolakan Pengungsi Muslim Rohingya di Aceh Menjadi Sorotan Media Arab: Awalnya Terima, Kini Nolak
CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP
Pengungsi Rohingya yang baru tiba berkumpul dan beristirahat di sebuah pantai di Laweueng, Kabupaten Pidie di provinsi Aceh, Indonesia pada 10 Desember 2023. Lebih dari 300 pengungsi Rohingya, sebagian besar perempuan dan anak-anak, terdampar di pantai barat Indonesia pada 10 Desember. pemerintah setempat membiarkan mereka dalam ketidakpastian tanpa adanya kepastian mengenai tempat berlindung. 

Penolakan Pengungsi Muslim Rohingya di Aceh Menjadi Sorotan Media Arab: Awalnya Terima, Kini Nolak

SERAMBINEWS.COM – Penolakan masyarakat Aceh terhadap kedatangan pengungsi muslim Rohingya mendapat sorotan dari media-media internasional.

Kantor berita yang berbasis jazira Arab - Qatar, Al Jazeera misalnya, melaporkan bahwa masyarakat Aceh sebelumnya menerima pengungsi Rohingya ini dengan penuh kehangatan.

Namun ketika gelombang kedatangan terjadi pada pertengahan November 2023, masyarakat Aceh mulai menyuarakan penolakan.

“Masyarakat Aceh di Indonesia sebelumnya menerima pengungsi, ketegangan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kedatangan,” laporan Al Jazeera yang diposting pada Minggu (10/12/2023).

Diketahui, sebanyak 315 orang lebih tiba dalam dua gelombang pada Minggu (10/12/2023) di Aceh.

Satu kapal berisi 135 muslim Rohingya mendarat di kawasan Pantai Kreung Raya, Aceh Besar

BERITA TERKAIT

Sementara kapal lainnya mendarat di pantai Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Pidie dengan jumlah 180 orang.

Kedatangan ini menambah rentetan jumlah kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh sejak November 2023.

Jika ditotalkan, sudah ada 8 gelombang kedatangan pengungsi Rohingya sejak pertengahan November 2023 di Aceh, dengan jumlah hampir mencapai 2000 pengungsi.

Kantor berita independen yang didanai oleh pemerintah Qatar, Al Jazeera menyoroti kedatangan Rohingya di Aceh
Kantor berita independen yang didanai oleh pemerintah Qatar, Al Jazeera menyoroti kedatangan Rohingya di Aceh

“Kami hanya ingin mencari tempat yang aman,” kata seorang pengungsi kepada Al Jazeera di tempat penampungan sementara di bibir pantai.

“Kami tahu kami mungkin mati di laut, tapi akhirnya kami selamat. Hanya itu yang kami inginkan untuk anak-anak kami,” katanya lagi.

Media itu juga menulis sub judul ‘Pantai yang tidak ramah’ dalam pemberitaan tersebut.

Dalam laporannya, dikatakan bahwa penduduk di Aceh tidak akan menyediakan dana, perbekalan, atau perlindungan bagi pengungsi Rohingya yang datang.

“Mereka (penduduk di Aceh) juga tidak ingin mereka (pengungsi Rohingya) tinggal di daerah tersebut,” tulisnya.

Media itu juga mengutip pernyataan Pemerintah daerah di Pidie yang mengatakan bahwa mereka tidak akan bertanggung jawab menyediakan tenda, atau kebutuhan dasar lainnya, atau menanggung biaya apa pun bagi para pengungsi.

Media itu juga mengutip pernyataan warga Aceh, Rijalul Fitri, kepala desa Blang Raya di Aceh.

Mereka tidak ingin pengungsi Rohingya berada di desa mereka. 

“Kami begadang semalaman agar tidak mengizinkan mereka berlabuh (dan mendarat), tapi mereka tiba,” katanya.

Fitri bersikukuh para pengungsi harus direlokasi. “Mereka tidak bisa tinggal di sini,” katanya.

Al Jazeera juga menyoroti aksi demonstrasi di Kota Sabang yang menolak keberadaan pengungsi Rohingya.

“Lebih dari 100 pengunjuk rasa terjadi di Kota Sabang di Aceh, di mana terdapat tempat penampungan sementara, bentrok dengan polisi saat mereka menyerukan agar pengungsi Rohingya direlokasi” tulisnya.

Pengungsi etnis Rohingya yang ditampung sementara di tepi pantai di Gampong Batee, Kecamatan Muara Tiga, Pidie, Senin (11/12/2023)
Pengungsi etnis Rohingya yang ditampung sementara di tepi pantai di Gampong Batee, Kecamatan Muara Tiga, Pidie, Senin (11/12/2023) (SERAMBINEWS.COM/M NAZAR  )

Fitri mengutarakan kepada media itu bahwa warga Aceh ini orang miskin dan kenapa mereka tidak menggunakan uang perjalanan itu untuk membantu masyarakat Aceh.

“Kami menolak Rohingya,” kata pengunjuk rasa lainnya. 

“Kami ingin mereka dipindahkan secepatnya. Kami tidak ingin tertular penyakit yang mereka bawa,” ujarnya.

Sementara itu, Badan PBB urusan Pengungsi (UNHCR), Faisal Rahman, mengatakan organisasi tersebut telah berusaha meyakinkan masyarakat setempat.

“Kami terus menjelaskan situasi ini kepada masyarakat dan memastikan bahwa mereka tidak akan terbebani dengan penanganan pengungsi,” katanya, mengakui bahwa tempat penampungan yang ditunjuk melebihi kapasitas.

Namun pemerintah berupaya menyediakan tempat berlindung karena jumlah pengungsi yang datang sangat tinggi.

PBB mengatakan kondisi sulit dan peningkatan kejahatan di Bangladesh serta memburuknya krisis di Myanmar adalah alasan peningkatan arus pengungsi.

Para ahli memperkirakan lebih banyak kapal akan tiba dalam beberapa bulan mendatang.

“Sekitar 75 persen pendatang baru adalah perempuan dan anak-anak,” Emily Bojovic dari kantor badan pengungsi PBB di Asia Tenggara mengatakan kepada Al Jazeera.

Banyak Akun Media Sosial Sebarkan Disinformasi Tentang Rohingya

Sejarawan Muslim yang juga influencer, Nicko Pandawa SHum mengatakan, banyak akun media sosial yang saat ini gencar menyebarkan disinformasi atau informasi salah tentang Rohingya.

Salah satu yang disinformasi yang disebarkan yakni pengungsi Rohingya melakukan demo penuntutan hak atas tanah di Malaysia.

Padahal itu adalah aksi demonstrasi yang dilakukan di depan Kedutaan Besar Myanmar di Malaysia.

“Itu tahun 2017 ketika Junta Militer Myanmar membantai habis-habisan orang-orang Rohingya di Arakan,” ujarnya menjadi narasumber dalam acara Islamic Civilization in Malay Archipelago Forum (ICOMAF) Edisi 23 di Aula Hotel Masjid Oman Al-Makmur, Banda Aceh, Sabtu (9/12/2023) malam.

Karena itu, lanjut dia, masyarakat harus selalu ingat dengan perintah Allah SWT untuk melakukan Tabbayun, yakni mencari kejelasan dari setiap informasi yang didapatkan.

Sementara itu, Protection Associate UNHCR Faisal Rahman dalam acara tersebut mengungkapkan kondisi Cox's Bazar, tempat bernaungnya hampir 1 juta pengungsi Rohingnya di Bangladesh.

Protection Associate UNHCR Faisal Rahman (kanan), Sejarawan Muslim Nicko Pandawa SHum (dua kanan), Pembina Majelis Talim Al-Mukminun Dr Yusrizal Zainal MSi (tiga kanan) menjadi narasumber dalam acara Islamic Civilization in Malay Archipelago Forum (ICOMAF) Edisi 23 yang di pandu oleh Firza Kutaraja di Aula Hotel Masjid Oman Al-Makmur, Banda Aceh, Sabtu (9/12/2023) malam.
Protection Associate UNHCR Faisal Rahman (kanan), Sejarawan Muslim Nicko Pandawa SHum (dua kanan), Pembina Majelis Talim Al-Mukminun Dr Yusrizal Zainal MSi (tiga kanan) menjadi narasumber dalam acara Islamic Civilization in Malay Archipelago Forum (ICOMAF) Edisi 23 yang di pandu oleh Firza Kutaraja di Aula Hotel Masjid Oman Al-Makmur, Banda Aceh, Sabtu (9/12/2023) malam. (SERAMBINEWS.COM/TM FARIZI)

Ia mengatakan, pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar masih tinggal dalam tenda-tenda dan potensi masalah yang kian meninggi di kawasan tersebut.

Hal inilah yang mendorong naluri pengungsi Rohingya untuk mencari tempat penghidupan yang layak dengan mempertaruhkan nyawanya mengarungi lautan.

Faisal menegaskan, ketika etnis Rohingya mengungsi ke Cox’s Bazar dari Myanmar, UNHCR segera melakukan pendataan dan memberi status sebagai pengungsi.

“Saat mereka mendarat di Indonesia, (muncul pertanyaan) ‘kok sudah ada kartu UNHCR’. Kan begitu isunya?. Nah saat pemberian status pengungsi, status tersebut tidak akan pernah hilang kecuali dia dapat kembali ke negaranya,” jelasnya.

Dia menjelaskan, kartu UNHCR merupakan satu-satunya identitas yang dimiliki pengungsi Rohingya.

Sehingga ketika dia bergerak ke mana pun, kartu tersebut menjadi pegangannya sebagai identitas diri.

Adapun sebaran pengungsi Rohingya, menurut Faisal, tidak hanya di Cox’s Bazar saja. Melainkan di Thailand sebanyak 65 ribu pengungsi, Malaysia 150 ribu, India 20 ribu, dan di Indonesia hanya seribuan orang.

Disisi lain, Pembina Majelis Talim Al-Mukminun, Dr Yusrizal Zainal MSi mengungkapkan, etnis Rohingnya memiliki permasalahan yang cukup kompleks, sehingga kehidupan mereka tidak seberuntung seperti orang lainnya.

“Junta militer Myanmar membantai mereka sehingga membuat mereka harus pergi ke Bangladesh. Tetapi di Bangladesh mereka juga tidak dalam kondisi baik, ada geng-geng yang melakukan pengancaman dan pembunuhan terhadap mereka,” paparnya.

Yusrizal mengungkapkan, pengungsi Rohingya ini sudah cukup lama berada di Bangladesh dan hidup tanpa ada harapan yang jelas.

 Sehingga, mereka memiliki impian untuk pergi ke negara-negara yang mampu memberikan harapan dan kehidupan yang layak.

“Kita jangan fokus pada keburukan yang dimiliki mereka, tapi fokus kita sebagai muslim adalah membantu mencari solusi. Kalau ada masalah di kampung tersebut, cari tempat lain yang lebih kondusif,” pungkasnya. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Baca Juga

Komentar