Politisi Ngeluh Pilkada Biaya Mahal Tapi Laporan Dana Kampan - IDNTIMES

 

Politisi Ngeluh Pilkada Biaya Mahal Tapi Laporan Dana Kampan

Politisi Ngeluh Pilkada Biaya Mahal Tapi Laporan Dana Kampanye Kecil

Kepala daerah ditunjuk oleh DPRD sama seperti era Orde Baru

Politisi Ngeluh Pilkada Biaya Mahal Tapi Laporan Dana Kampanye KecilDirektur eksekutif Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti. (Dokumentasi Istimewa)
Santi Dewi

Intinya Sih...

  • Ray Rangkuti menilai usulan pemilihan kepala daerah lewat DPRD bak lagu lama yang diputar kembali
  • Biaya pilkada menjadi mahal diduga karena paslon ingin membeli suara dan parpol agar bisa berlayar di kontestasi demokrasi tersebut
  • Ray mengkritisi adanya keinginan dari elite parpol yang menginginkan adanya mekanisme sentralisasi sehingga digulirkan agar kepala daerah dipilih lagi lewat mekanisme anggota DPRD

Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti, menilai usulan pemilihan kepala daerah lewat DPRD bak lagu lama yang diputar kembali. Sebab, alasan untuk mendorong pemilihan kepala daerah kembali lewat DPRD karena biaya perhelatannya mahal. Menurut Ray, alasan ini klasik dan terus diulang-ulang. 

"Sebab, pertama, tidak ada petunjuk yang valid menunjukkan biaya pilkada yang dimaksud mahal. Bila menilik laporan dana kampanye yang disampaikan ke KPUD, hampir tidak ditemukan sinyal kuat bahwa ada biaya yang sangat besar yang dikeluarkan oleh paslon," ujar Ray di dalam keterangan tertulis, Minggu (15/12/2024). 

Seandainya biaya pilkada memang besar artinya, kata Ray, ada dana kampanye yang tidak dilaporkan ke KPUD. Hal itu, kata Ray, jelas merupakan bentuk pelanggaran. 

"Maka, masalahnya bukan lagi soal biaya mahal tapi laporan tidak jujur tentang penggunaan dana kampanye," tutur dia. 

1. Biaya pilkada mahal diduga karena paslon beli suara dan dukungan parpol

Politisi Ngeluh Pilkada Biaya Mahal Tapi Laporan Dana Kampanye KecilIlustrasi bendera partai politik. (IDN Times/Yosafat)

Lebih lanjut, biaya pilkada menjadi mahal diduga karena paslon ingin membeli suara dan parpol agar bisa berlayar di kontestasi demokrasi tersebut.

"Artinya, masalahnya bukan pada sistem, tapi pada perilaku. Paslon dikejar keinginan untuk menang bukan karena ingin ada kompetisi yang jujur dan adil," kata Ray. 

Lantaran target harus menang itu, maka proses pilkada yang jurdil itu diabaikan. Maka, kata Ray, tak heran bila pilkada jadi mahal. 

"Karena suara diduga dibeli, perahu dibayar, penyelenggara disuap. Dalam hal ini, masalahnya bukan pada biaya yang mahal tapi pada tata kelola dan moralitas partai dalam mengusung paslon," ujar Ray. 

IDN Times coba memeriksa penggunaan dana kampanye paslon di Pilkada Jakarta melalui situs resmi KPU pada hari ini. Namun, yang terjadi laporan dana kampanye itu sulit diakses. 

Sedangkan, per 20 November 2024 lalu, dana kampanye yang dilaporkan oleh paslon Ridwan Kamil-Suswono mencapai Rp67 miliar. Paslon Pramono Anung-Rano Karno di hari yang sama melaporkan dana kampanye mencapai Rp25 miliar. Bahkan, PDI Perjuangan (PDIP) dan Hanura pada hari itu disebut tak melaporkan ikut memberikan dana kampanye sama sekali. 

Paslon nomor urut dua, Dharma Pongrekun-Kun Wardana melaporkan dana sumbangan kampanye mencapai Rp180 juta. 

Baca Juga: Prabowo Usul Kepala Daerah Dipilih DPRD, Ini Kata KPU

2. Usulan awal kepala daerah kembali dipilih DPRD disampaikan Golkar

Politisi Ngeluh Pilkada Biaya Mahal Tapi Laporan Dana Kampanye KecilKetua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia di DPP Golkar. (www.instagram.com/@golkar.indonesia)

Ray juga mencermati usulan agar kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD disampaikan oleh Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, di puncak HUT ke-60 Golkar. Pernyataan itu disampaikan usai paslon yang diusung oleh partai dengan lambang pohon beringin itu berguguran di Pilkada 2024. 

"Golkar bukan saja kehilangan dukungan di beberapa daerah. Mereka bahkan kehilangan daerah yang secara tradisional merupakan basis Golkar. Kalau (daerahnya) tidak diambil oleh PDIP atau Gerindra. Padahal, Gerindra teman satu koalisi di KIM," kata Ray. 

Ia pun mengaku bingung dengan pencapaian Golkar. Sebab, di pemilu legislatif, berhasil menempati posisi kedua setelah PDIP. Namun, di pilkada justru rontok. 

"Apakah ada hubungannya dengan pergantian ketua umum Partai Golkar di awal tahapan pilkada atau karena terlalu dominannya Partai Gerindra di KIM sehingga sulit bagi pemilih membedakan KIM dengan Golkar," tutur dia. 

3. Elite parpol ingin kepala daerah sesuai keinginan pemerintah pusat

Politisi Ngeluh Pilkada Biaya Mahal Tapi Laporan Dana Kampanye KecilIlustrasi kotak suara di Pilkada. (IDN Times/Aditya Pratama)

Lebih lanjut, Ray mengkritisi adanya keinginan dari elite parpol yang menginginkan adanya mekanisme sentralisasi. Di mana para kepala daerah sesuai dengan keinginan pemerintah pusat. Sehingga, digulirkan agar kepala daerah dipilih lagi lewat mekanisme anggota DPRD.

"Para politisi kita ini terganggu dengan desentralisasi. Mereka inginnya semua ada di satu kontrol alias sentralisme. Diam-diam cara berpikir ala Soeharto itu memang mengakar di elit politik kita," tutur dia. 

https://www.youtube.com/embed/0vn_169R_Yo

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya 

Artikel populer - Google Berita