OCCRP Akui Laporannya Bersumber Polling Warganet, Bukan Berdasarkan Bukti atau Hasil Investigasi - inilah
OCCRP Akui Laporannya Bersumber Polling Warganet, Bukan Berdasarkan Bukti atau Hasil Investigasi
Kolase laporan OCCRP dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Foto: Antara)
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
+ Gabung
Laporan Organized Crime dan Corruption Reporting Project (OCCRP) yang memasukan nama Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) ke dalam daftar finalis pemimpin dunia terkorup menjadi sorotan di kalangan masyarakat beberapa waktu belakangan. Ironisnya, sumber data laporan tersebut tidak ilmiah hanya berdasarkan asumsi warganet.
Melalui siaran pers disitus resminya, OCCRP mengakui bahwa pihaknya tak memiliki bukti atas tuduhannya ke Jokowi dan tokoh dunia lainnya sebagai pemimpin terkorup. Dalam keterangan itu, disebut bahwa nominasi berdasar dari usulan publik yang diterima melalui email dan sejumlah platform media sosial, salah satunya X (Twitter).
“Para juri menghargai nominasi warga negara, tetapi dalam beberapa kasus, tidak ada cukup bukti langsung tentang korupsi yang signifikan atau pola pelanggaran yang sudah berlangsung lama,” kata penerbit OCCRP Drew Sullivan dalam keterangannya, dilihat Jumat (3/1/2025).
Dijelaskan bahwa OCCRP tidak memiliki kendali atas siapa yang dinominasikan karena saran datang dari orang-orang di seluruh dunia. Dalam proses penyaringan, disebut bahwa pihak OCCRP membuat pengumunan umum dan menerima lebih dari 55.000 usulan yang menyodorkan sejumlah tokoh politik paling terkenal beserta individu yang kurang dikenal.
"Ini termasuk pencalonan mantan presiden Indonesia Joko Widodo, yang dikenal sebagai Jokowi," bunyi keterangan itu.
Sejumlah dugaan serta asumsi para aktivis yang menghiasi pemberitaan juga turut menjadi salah satu indikator OCCPR dalam menominasi Jokowi dan tokoh lainnya.
"Ada persepsi yang kuat di antara warga negara tentang korupsi dan ini seharusnya menjadi peringatan bagi mereka yang dinominasikan bahwa masyarakat sedang memperhatikan, dan mereka peduli. Kami juga akan terus memperhatikan,” tulis keterangan itu.
Penjelasan ini membenarkan keraguan soal validitas data laporan OCRRP. Sebelumnya, pengamat komunikasi politik dari Universitas Bung Karno Faisyal Chaniago turut menyuarakan keraguannya. Menurut informasi yang diterimanya, proses nominasi menggunakan metode Google Form untuk polling. Dia menyebut metode ini tidak tepat.
"Berdasarkan informasi yang saya temukan, metode yang digunakan oleh OCCRP tidak berbasis pada data hukum dan fakta. Mereka menggunakan pendekatan polling melalui Google Form, yang jelas-jelas tidak ilmiah," kata dia dalam keterangan diterima di Jakarta, dikutip Kamis (2/1/2025).
Dia menyatakan, dalam menilai sebuah fenomena besar seperti korupsi, perlu analisis mendalam dan validitas data. Faisyal juga mempertanyakan indikator apa yang digunakan hingga bisa menyimpulkan Jokowi dan sejumlah tokoh dunia lainnya sebagai sosok diktator dan korup.
"OCCRP membuat indikator sendiri tentang makna korupsi. Kalau semua lembaga bebas membuat variabel-variabel untuk menyusun konsep, maka akan melahirkan konsep-konsep yang bias dan salah," tutur dia.
Faisyal pun menyoroti ketiadaan tokoh dari Amerika Serikat (AS). Sebab, menurutnya pemimpin dari negeri Paman Sam sudah dikenal sejarah sebagai aktor utama hilangnya hak-hak rakyat Irak selama perang, namun tidak ada yang menyebutnya sebagai pemimpin terkorup dan diktator yang melanggar hak asasi manusia.
Asal tahu saja, studi dari The Lancet menunjukkan bahwa sekitar 655.000 warga Irak tewas hingga tahun 2006. Data lainnya, Institut Watson untuk Urusan Internasional dan Publik di Universitas Brown menyebut 200.000 warga sipil tewas sebagai akibat dari kekerasan terkait perang langsung selama invasi AS ke negara itu. Invasi ini diinisiasi Presiden AS George W. Bush dan PM Inggris Tony Blair pada 2023.
Dia menyatakan, patut diduga laporan OCCRP ini dimanfaatkan oleh sekelompok politikus yang tidak menyukai Jokowi untuk menyerang. Tanpa menafikan tetap ada kekurangan kepemimpinan Jokowi selama dua periode. "Berita OCCRP ini digunakan oleh politisi-politisi yang tak suka dengan Jokowi sebagai senjata untuk menyudutkan Jokowi," kata Faisyal.
Sekilas soal OCCRP
Adapun OCCRP sendiri merupakan organisasi jurnalisme investigasi berbasis di Amsterdam, Belanda, yang berfokus pada isu kejahatan terorganisir dan korupsi global.
Dalam beraktivitas, OCCRP mendapat mendapatkan donasi dari enam donatur pemerintah, termasuk Amerika Serikat (AS), Perancis, dan Swedia, serta sejumlah yayasan swasta yang mendukung jurnalisme investigasi.
OCCRP mendapatkan sumbangan dana dari organisasi seperti The Bay and Paul Foundations, Dutch Postcode Lottery, Ford Foundation, Founders Pledge, dan German Marshall Fund. Ada pula dari National Endowment for Democracy, Oak Foundation, Open Society Foundations, Rockefeller Brothers Fund, Skoll Foundation, Golden Globe Foundation, serta European Union.
Turut juga menyumbang, Badan Kerja Sama Pembangunan Internasional Swedia, Kementerian Eropa dan Luar Negeri Perancis, Kantor Luar Negeri, Persemakmuran, dan Pembangunan Inggris Raya, Badan Pembangunan Internasional AS, dan Departemen Luar Negeri AS juga tercatat menjadi donatur OCCRP.
OCCRP menegaskan akan tetap bisa menulis berita soal negara donatur. Akan tetapi, sejumlah media di luar negeri serta pemerintah India pernah melaporkan organisasi ini menerbitkan laporan investigasi dengan dukungan pemerintah AS.
00
Komentar
Posting Komentar