Turki Berencana Bangun 2 Pangkalan Militer di Suriah, Bagaimana Nasib Rusia? - Halaman all - TribunNews
Dunia Internasional
Turki Berencana Bangun 2 Pangkalan Militer di Suriah, Bagaimana Nasib Rusia? - Halaman all - TribunNews

TRIBUNNEWS.COM - Militer Turki berencana membangun dua pangkalan militer baru di Suriah yang akan digunakan untuk melatih angkatan bersenjata baru negara tersebut.
Laporan ini bersumber dari informasi yang dikutip oleh surat kabar Türkiye Newspaper pada 3 Februari 2025 dari beberapa sumber Arab yang tidak disebutkan namanya.
"Turki akan melatih anggota militer di dua pangkalan yang akan dibangun di Suriah," menurut laporan tersebut.
"Turki dan Suriah akan menandatangani perjanjian pertahanan bersama."
Laporan itu juga menambahkan, "Berdasarkan perjanjian yang diharapkan segera ditandatangani, Turki akan membantu Suriah jika negara tersebut menghadapi ancaman mendadak."
Militer Turki akan melatih tentara Suriah, termasuk pilot, dengan tujuan membangun angkatan udara untuk Suriah.
Dalam perjanjian tersebut, disebutkan bahwa Turki akan menempatkan 50 pesawat tempur F-16 di dua pangkalan baru tersebut hingga Angkatan Udara Suriah terbentuk sepenuhnya.
"Langkah ini bertujuan untuk mencegah serangan apapun terhadap kedaulatan Suriah."
Selain itu, pihak berwenang Suriah juga dilaporkan meminta agar Turki mengerahkan pesawat nirawak, radar, dan sistem perang elektronik di sepanjang perbatasan Suriah dengan Israel.
Mengutip The Cradle, setelah Ahmad al-Sharaa dilantik sebagai Presiden Suriah, diumumkan bahwa semua faksi bersenjata, termasuk kelompok ekstremis Hayat Tahrir al-Sham (HTS), akan dibubarkan dan digabungkan ke dalam institusi negara, termasuk militer.
Banyak pejuang asing datang ke Suriah pasca-2011 untuk melawan pemerintahan mantan Presiden Bashar al-Assad.
Baca juga: Pemimpin Suriah Tiba di Arab Saudi dalam Perjalanan Luar Negeri Pertamanya, Mengapa Bukan ke Iran?
Mereka berasal dari Uighur Tiongkok, Albania, Turki, dan Yordania.
Setelah Assad digulingkan, banyak dari mereka yang diberi posisi tinggi di militer baru Suriah, meskipun sebelumnya mereka adalah anggota ISIS atau faksi yang berhubungan dengan Al-Qaeda.
Laporan ini muncul sehari sebelum Al-Sharaa (yang sebelumnya dikenal sebagai Abu Mohammad al-Julani), mantan pemimpin Al-Qaeda dan ISIS, dijadwalkan melakukan kunjungan resmi pertamanya ke Turki setelah perjalanannya ke Arab Saudi, di mana ia bertemu dengan Putra Mahkota Saudi, Mohamed bin Salman (MBS).
Sharaa diperkirakan akan bertemu dengan pejabat dan pemimpin Turki untuk membahas sejumlah isu, termasuk pemulihan ekonomi dan keamanan.
“Kami yakin hubungan antara Turki dan Suriah, yang telah kembali terbangun setelah pembebasan Suriah, akan semakin kuat dan berkembang dengan kunjungan Ahmad al-Sharaa dan delegasinya,” ujar Fahrettin Altun, Kepala Direktorat Komunikasi Kepresidenan Turki.
Turki telah lama mendukung HTS dan berperan dalam operasi militer yang menyebabkan runtuhnya pemerintahan Assad pada 8 Desember 2024.
Militer Turki telah berada di Suriah sejak 2016, terutama untuk memerangi pasukan Kurdi yang didukung AS.
Bagaimana dengan Rusia?
Selama pemerintahan Bashar al-Assad, Rusia memiliki dua pangkalan militer di Suriah, yakni Pangkalan Udara Khmeimim dan pangkalan angkatan laut di Tartus.

Namun, situasi berubah setelah Assad digulingkan oleh kelompok yang dipimpin oleh Sharaa.
Assad melarikan diri ke sekutunya, Rusia.
Setelah itu, Rusia dilaporkan telah memindahkan peralatan militernya dari kedua pangkalan tersebut, meski tidak jelas apakah pemindahan itu hanya sementara atau permanen.
Pada akhir Januari lalu, Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan ada "pembicaraan terbuka" terkait isu pangkalan militer ini, menurut Reuters.
Kedua pihak masih melakukan kontak untuk mencapai kesepakatan lebih lanjut.
Diplomat Rusia kemudian dikirim ke Damaskus untuk merundingkan masalah tersebut.
Menurut laporan The New York Times pada 2 Februari 2025, delegasi diplomat Rusia tiba pada Selasa (28/1/2025) untuk menghadiri pertemuan di Damaskus.
Namun pembicaraan berakhir tanpa kesepakatan.
Pertemuan ini mencerminkan tawar-menawar geopolitik yang telah berlangsung pasca-perang saudara Suriah — dengan potensi membentuk kembali Timur Tengah, tulis The New York Times.
Kekuatan-kekuatan dunia bersaing memperebutkan pengaruh, sementara pemimpin muda Suriah berupaya memperoleh legitimasi, keamanan, dan bantuan melalui pendekatan realpolitik yang pragmatis.
"Saya rasa suasana umum di Damaskus saat ini adalah, 'Kami orang Suriah tidak perlu bertengkar dengan siapa pun, termasuk mantan musuh kami,'" kata Charles Lister, peneliti senior di Middle East Institute di Washington.
"Jadi, de-eskalasi dan pragmatisme adalah kuncinya."
Namun, Rusia diminta untuk membuat konsesi.
Al-Sharaa menekankan bahwa setiap hubungan baru dengan Rusia harus menyelesaikan kesalahan masa lalu terlebih dahulu.
Dia meminta kompensasi atas kerusakan yang disebabkan oleh Rusia dan menuntut agar Assad serta rekan-rekannya diserahkan untuk diadili, menurut dua pejabat yang mengetahui pertemuan tersebut.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, kemungkinan besar tidak akan setuju.
Ketika ditanya mengenai ekstradisi Assad sehari setelah pertemuan para diplomat tersebut, juru bicara Putin menolak berkomentar.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Komentar
Posting Komentar