Marsinah, Pejuang Nasib Buruh yang Kini Menanti Gelar Pahlawan - merdeka

Bagi buruh, Marsinah bukan sekadar nama. Ia adalah simbol perlawanan orang kecil, bukan elit politik atau birokrat.
Pada Kamis (1/5), di tengah lautan buruh yang memenuhi Lapangan Monas, nama Marsinah kembali bergema. Bukan hanya sebagai simbol perlawanan kelas pekerja, tetapi sebagai sosok yang mungkin sebentar lagi resmi menjadi Pahlawan Nasional.
Presiden Prabowo Subianto dalam pidato peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025 menyatakan dukungannya.
”Asal seluruh pimpinan buruh mewakili kaum buruh, saya akan mendukung Marsinah menjadi Pahlawan Nasional," kata Presiden, disambut gemuruh tepuk tangan buruh.
Simbol dari Akar Rumput, Bukan Elit Gerakan

Dukungan ini menjawab aspirasi lama para pemimpin serikat buruh, seperti Presiden KSPI Said Iqbal, yang menilai belum ada figur otentik dari kalangan buruh akar rumput yang diakui sebagai pahlawan oleh negara.
Berbeda dari tokoh seperti Jacob Nuwa Wea—mantan Menaker dan arsitek UU Ketenagakerjaan—atau Muchtar Pakpahan, pendiri SBSI yang dikenal berani melawan Orde Baru, Marsinah dinilai lebih merepresentasikan buruh biasa yang bergerak karena kepekaan dan ketidakadilan.
Bagi buruh, Marsinah bukan sekadar nama. Ia adalah simbol perlawanan orang kecil, bukan elit politik atau birokrat.
Cita-Cita Jadi Guru ke Garda Depan Buruh

Marsinah lahir di Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, pada 1969. Ia sempat bercita-cita menjadi guru, namun keterbatasan ekonomi memaksanya bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo.
Di sana, Marsinah dikenal kritis dan vokal memperjuangkan hak-hak buruh. Pada Mei 1993, ia memimpin aksi menuntut kenaikan upah dan tunjangan sesuai edaran Gubernur Jawa Timur.
Aksi itu berujung tragis. Marsinah sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk mencari rekan-rekannya yang ditahan. Malam itu, ia hilang. Jenazahnya ditemukan pada 8 Mei 1993, dengan tanda-tanda kekerasan.
Presiden Soeharto kala itu memerintahkan pengusutan kasus ini. Sejumlah petinggi perusahaan ditetapkan sebagai tersangka. Namun, Mahkamah Agung membebaskan mereka karena kurang bukti.
Tragedi Marsinah menjadi luka kolektif yang belum sembuh. Film dokumenter dan puisi telah mengabadikan kisahnya, namun pertanyaan Isa Trisnowati, rekan Marsinah, tetap menggantung: "Siapa pembunuh Marsinah?"
Langkah Menuju Pahlawan Nasional

Kini, tiga dekade sejak kematiannya, buruh mendorong pengusulan resmi Marsinah sebagai Pahlawan Nasional. Prosesnya tak mudah: mulai dari pengajuan ke Kemensos, dukungan dari Pemkab Nganjuk dan Sidoarjo, hingga seminar nasional untuk mengukuhkan jejak sejarahnya.
"Restu Presiden Prabowo patut diapresiasi, karena menunjukkan negara hadir menghormati pejuang non-konvensional," kata Isa seperti dilansir dari Antara.
Marsinah telah mendapat Penghargaan HAM Yap Thiam Hien pada 1993. Kini, tinggal selangkah lagi menuju pengakuan tertinggi negara.
Marsinah tidak mati. Namanya hidup dalam setiap perjuangan buruh yang menuntut upah layak, keadilan, dan perlindungan. Di tengah riuhnya pidato dan janji, nama itu menjadi pengingat bahwa demokrasi dan keadilan sosial kerap dibayar mahal—dengan nyawa.
Prabowo Lobi-Lobi Pangeran MBS Bangun Perkampungan Indonesia di Tanah Suci - merdeka

"Saya mengusulkan Marsinah menjadi Pahlawan Nasional dari kaum buruh," ujar Prabowo
Marsinah adalah cermin dari harapan, keberanian, dan tekad untuk melanjutkan perjuangan demi keadilan sosial.
Prabowo menyampaikan usulan Marsinah diangkat menjadi pahlawan nasional datang dari pimpinan serikat buruh.
Mereka membawa ingatan dan kerinduan pada seorang perempuan yang pernah mengguncang sejarah: Marsinah.
Semangatnya membela yang lemah, kata orang-orang, sudah tumbuh sejak masa kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar