BRIN: Partai Politik adalah Aset Negara Bukan Milik Perorangan
Irfan Amin, Anggun P Situmorang
tirto.id - Harapan untuk menaikkan bantuan politik (banpol) bagi partai politik kembali mencuat usai pelaksanaan Pemilu serentak 2024. Isu ini kembali muncul karena dalam Pemilu 2024 dinilai terlampau mahal dalam pembiayaannya. Semua pihak mengakui akan mahalnya ongkos politik baik peserta Pemilu di legislatif hingga eksekutif.
Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, mendukung kenaikan banpol karena dalam realita di lapangan kas partai yang ada saat ini dinilai tidak cukup untuk membiayai kegiatan operasional. Sehingga, dia mendukung jika pemerintah hendak menaikkan jumlah banpol dengan sejumlah syarat dan pengawasan yang ketat.
Dalam perbincangan selama 60 menit bersama Tirto, Siti Zuhro tidak hanya berbicara soal banpol namun juga proses kaderisasi hingga perkembangan politik masa kini. Sebagai ilmuwan, Siti Zuhro menyampaikan sejumlah pandangannya yang sebagian sama dengan ide dan gagasan pemerintah serta sebagian lainnya berseberangan dengan narasi konstruktif untuk perbaikan dan pembangunan.
Simak ide dan kritik Siti Zuhro terhadap kondisi politik di Indonesia, berikut ini bersama Tirto.
Narasi mengenai kenaikan banpol disampaikan oleh Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto. Bagaimana pandangan Anda, apakah setuju atau kontra mengenai hal tersebut?
Ini isu lama, lama sekali, karena waktu kita membaca bantuan dari negara itu sekitar Rp85, waktu itu, Rp85 per kepala bagi partai yang bisa memperoleh suara. Jadi setiap partai tidak sama, bergantung pada apakah besar, sedang atau kecil. Tentu Rp85, dianggap tidak besar memang kecil, lalu ada perbaikan ditambah lagi menjadi Rp1.000, per kepala.
Itu pun ternyata dievaluasi lagi masih kurang, dan semakin kesini kita menjalankan kalau hitungannya sejak tumbangnya Orde Baru tahun 1998, maka sekarang ini sudah sekitar 27 tahun, kita menjalani sistem demokrasi dan dinamikanya, baik demokrasi maupun Pemilunya dan Pilkadanya, dan sistem multipartainya.
Nah ini juga menunjukkan sampai di Pemilu terakhir serentak 2024 itu, capaian-capaian tadi itu bukan meningkat secara kualitas dan signifikan, tapi justru itu menurun. Lalu di kala merosot kualitas demokrasi kita, backsliding, bahkan ada yang mengatakan "sudah roboh demokrasi kita", diiringi ternyata oleh maraknya korupsi.
Maka kita dalam kondisi dimana sambil menerapkan sistem demokrasi, sambil mengalami bencana korupsi yang tidak alang kepala. Korupsi melanda smeua, menyapu semua bidang, baik di cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan hampir semua lembaga auxiliary body dan lembaga-lembaga badan dan juga perbankan baik pemerintah maupun swasta, dan perusahaan-perusahaan yang lalu nanti ditimpakan kepada negara, ujungnya.
Berarti ini ada hal yang sangat serius, lalu disimpulkan pada satu muara, ini karena demokrasi kita mahal. Karena Pemilu dan Pilkada kita sangat mahal. Ini juga tidak diucapkan oleh sembarangan orang, tetapi juga bahkan oleh Pak Presiden kita, Pak Prabowo mengatakan demokrasi kita mahal, demokrasi kita messy, demokrasi kita juga costly messy, yang intinya tidak positif. Maka waktunya sudah tiba, saatnya kita memperbaiki demokrasi.
Di saat yang seperti ini, korupsi sangat merajalela, bencana korupsi yang seperti itu, mulai terpikirkan apakah memang sudah saatnya mengedepankan kembali, partai-partai ini perlu didanai negara secara cukup, secara signifikan. Supaya ada korelasi yang positif antara dana-dana dari negara tadi itu, dengan peningkatan kualitas kaderisasi, promosi kader, yang sistemnya merit dan sebagainya. Itu akan terjadi di partai politik, apakah asumsi tadi tepat?
Kalau menurut saya jangan asumsi, karena yang sangat diperlukan oleh Indonesia saat ini adalah memang bagaimana kualitas hukum kita diperbaiki secara serius, dan dilakukan perbaikan tadi itu secara mengikat, sehingga penegakan hukum dan keadilan itu seiring sejalan.
Demorasi diperlukan di tengah landasan, tidak hanya di tengah, namun juga di bawah landasan. Kualitas hukum kita yang bagus akan memberikan kepastian hukum dan keterukuran, itu yang kita harapkan. Maka kalau pun kita bersetuju, memang seharusnya negara memberikan partai politik dana yang cukup, dana yang signifikan, sehingga proses kaderisasi, proses pembangunan partai menjadi partai ID itu terjadi.
Dengan catatan bahwa ini adalah asetnya negara, tidak hanya partai sebagai pilar penting demokrasi, tapi partai-partai itu adalah asetnya negara, tidak boleh dimiliki orang per orang. Karena politik memiliki posisi strategis, partai politik menghasilkan kader-kader yang notabene calon pemimpin untuk negara bangsa ini.
Kalau itu tidak dilakukan secara proper oleh pengurus partai, penyiapan kader untuk cabang kekuasaan eksekutif, legislatif bahkan cabang kekuasaan yudikatif lainnya. Maka ini akan terjadi kerusakan di negara ini yang luar biasa. Disfungsi kelembagaan yang luar biasa, karena dipimpin oleh orang-orang katakan kader-kader yang tidak bertanggungjawab akhirnya, karena tidak mungkin kita membayangkan partai dimiliki oleh orang per orang, lalu ujungnya para kader diperuntukkan bagi NKRI.
Maka inilah yang harusnya menyadarkan kita semua, kalau memang ujungnya adalah di partai politik, karena kita bersepakat untuk berdemokrasi, maka perbaikan jantung demokrasi itu ada di partai politik. Dengan catatan, ketika partai-partai ini mendapatkan dana dari negara, wajib hukumnya partai ini diaudit secara profesional dan independen, tidak cukup dari BPK, BPKP dan auditor negara lainnya.
Dengan diaudit oleh auditor independen, yang bisa dipercaya oleh publik luas, akan diikuti oleh semua pinalti yang mengiringi ketika partai itu menyalahgunakan uang negara yang cukup besar. Jangan diulang semua kesalahan yang dilakukan oknum-oknum seperti Sritex yang bebannya diserahkan begitu saja kepada negara. Itu nggak elok.
Dalam paparan Anda disebutkan bahwa partai adalah aset negara, seperti apa gagasan ini diimplementasikan, apakah seperti era Orde Baru yang mana Golkar, PPP, dan PDIP merupakan aset negara baik secara infrastruktur maupun nomenklatur?
Kalau kita hitung sejak tumbangnya Orde Baru saja, tahun 1998, 27 tahun. Kalau secara teori bahwa demokrasi yang dibangun dua kali Pemilu itu sudah melangkah atau naik kelas, menjadi satu demokrasi yang terkonsolidasi. Sudah mulai melembaga nilai-nilai demokrasi dan mampu menciptakan satu kultur politik, budaya politik yang betul-betul bisa disebut sebagai budaya politik demokratis, melembaga terutama dalam contoh paling gamblang itu peningkatan public trust.
Itulah nilai-nilai budaya politik kita ketika menjalankan suatu proses demokrasi atau demokratisasi, jadi ada peningkatan kualitas saling menghormati, saling percaya. Kalau kita tidak (saling percaya) enam kali Pemilu nasional, 1.500 Pilkada yang langsung berjalan di daerah-daerah, bukan saling percaya yang kita tumbuhkembangkan. Saling-saling yang negatif justru, maka muncullah isu politisasi, intoleransi, politisi radikalisme, politisi SARA dan lainnnya.
Apakah itu yang akan kita bangun, dimana nilai budaya kita? Maka ini sebetulnya adalah kegagalan partai politik kita, dalam membangun dirinya, menempatkan institusinya sebagai pilar penting demokrasi sekaligus aset negara. Karena kader partai politik menjadi pemimpin-pemimpin di 3 cabang kekuasaan dan bahkan lebih dari 3 cabang kekuasaan, ini nggak main-main, serius sekali.
Jangan lupa partai politik itu dipayungi oleh konstitusi kita, hanya partai politik dan gabungan partai politik yang bisa mengusung capres-cawapres, tidak diturunkan di undang-undang tapi langsung di konstitusi.
Jadi menurut saya terlalu tinggi menempatkan partai politik, apalagi bunyinya partai politik itu aset negara, karena di dalamnya terdapat rekrutmen kaderisasi, rekrutmen kader-kader.
Walaupun dalam proses rekrutmen kader masih sangat berbau nepotisme, politik nepotisme, belum ada satu kontestasi kompetisi di internal partai yang diajarkan secara gentle, secara profesional sampai mengerucut pada konvensi. Jadi bagaimana mengajarkan proses learning by doing di internal partai, kompetisi yang sehat, sehingga ketika da Pilkada dan Pilpres langsung tidak tergagap karena sudah biasa menjalankan kompetisi yang benar, well on the right track.
Bukan pokoknya menang, untuk besar atau menang untuk mengecilkan orang lain. Lalu menghalalkan semua cara. Maka di Indonesia yang sangat mengenaskan bukan demokrasi Pancasila tetapi partai politik dibangun minus nilai-nilai Pancasila.
Maka mengapa kita kembali lagi bahwa partai-partai ini butuh dana, ketika PT tidak dibolehkan, didirikan oleh partai, takut ada kemungkinan penyimpangan. Maka kalau dana saya lebih setuju, bahwa negara memberikan dana yang terukur, lalu yang bisa diaudit dan bisa dilakukan pengelolaannya secara transparan, supaya ujungnya akuntabel bisa dipertanggungjawabkan.
Berapa idealnya banpol yang diberikan kepada partai politik, sejumlah politisi mengaku banpol yang diterima dari pemerintah hanya mencukupi kurang dari 10 persen biaya operasional, berapa idealnya menurut Anda?
Jadi menurut saya rasional saja bahwa secara logis, paham objektif kita, negara kita sedang tidak beruntung, sedang resesi. Hampir kita tidak memiliki satu ruang exercise ruang gerak yang cukup saat ini, jadi menurut saya mungkin memang sudah saatnya kita melakukan efisiensi, dalam banyak hal. Apalagi anggaran dana rutin, dana birokrasi itu dipangkas sedemikian rupa untuk pemerintah baru ini.
Memang tidak ada modalitas, maka ya rasional saja membantu dan partai sudah harus mulai melakukan model-model kaderisasi, promosi kader dengan sistem digital. Kalau di birokrasi digitalisasi governansi dan di partai politik juga sudah saatnya. Jadi kalau kita menghindari, katakan seperti pertemuan offline, melibatkan segitu banyak orang kan bisa online, kalau offline kan butuh gedung, konsumsi dan tetek bengek yang tidak simpel.
Kalau pertemuan itu identik dengan semuanya ada snacknya, ada minumannya, ada sebagainya, dan itu biasa membebani. Oleh karena itu, saya belajar dari kantor saya yang tidak lagi diberi satu kemewahan rapat penelitian ada konsumsi, ini sudah lama, cuma kita tidak mengatakannya.
Mulai partai politik mengajarkan realitas bahwa di dunia ini sedang resesi, Indonesia juga sedang resesi, ekonominya belum pulih, belum recovery. Maka kalaupun memang ada dana tambahan dari negara, sifatnya relief bukan seluruhnya. Karena dana rutin birokrasi juga dipangkasnya tidak alang-kepalang, maka partai politik juga bisa melakukan review terhadap program-programnya.
Maka saya tidak bisa memberikan satu solusi konkret karena kita kan punya Kementerian Keuangan. Untuk berhitung itu nanti seperti apa, berapa banyak partai, karena kita belum mampu merampingkan partai. Padahal sistem kita ini kan presidensial, jadi presidensial harusnya partainya itu ramping, lima saja sudah terlalu banyak, apalagi ini jumlahnya sembilan.
Sebelumnya terdapat fenomena politik di PPP yang mengajak bohir atau tauke untuk terlibat menjadi ketua umum? Anda melihat fenomena ini sebagai apa, kenapa politik di Indonesia menjadi sangat transaksional?
Jauh dari 2014, saya sudah mendengarkan ini. Dari partai yang sekarang menjadi partai di luar DPR. Artinya apa? Jadi menurut saya memang mengelola partai itu ternyata butuh modal yang amat besar. Kalau cuma Rp1-2 T (triliun) mungkin tidak cukup. Jadi ini juga yang menjadi tantangan kita, Indonesia dalam menjalankan demokrasi, bukan rahasia lagi bahwa partai politik kita butuh modal. Makanya kenapa ketika sistemnya dibuka ke proporsional terbuka yang banyak menang itu yang punya modal besar. Bayangkan untuk berkompetisi di Pemilu legislatif 2024 kemarin untuk calon dapilnya jakarta membutuhkan modal Rp5 M (miliar).
Itu mungkin pendanaan partai politik bisa 50 persen, bahkan kita mimpilah negara kita bisa mendanai 50 persen tidak 10 persen lagi. Tapi menurut saya siapa yang bisa menjamin partai bisa menjalankan dengan baik, tidak ada yang bisa menjamin, karena memang kondisi kualitas hukum kita, pendekatan hukum kita masih belum mantap betul.
Menurut saya, ini Pak Prabowo punya peluang besar karena visioner, beliau ini pemimpin yang visioner melihat Indonesia ke depan, Indonesia emas, bahwa Indonesia emas harus dibangun meskipun saat ini sudah terlambat. Dengan mensejahterakan masyarakat dan sebagainya meskipun kita tahu tidak semudah yang dibayangkan ternyata. Memberi makan saja masih keliru, racun pula yang dikasih, keracunan pula.
Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, mengusulkan agar partai bisa punya Badan Usaha seperti partai di Jerman, apakah hal itu memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia?
Jerman itu kan harus kita pelajari bagaimana sistem politiknya, sistem hukumnya, tegak tidak, terikat nggak, masyarakat dan elitnya kepada hukum. Tidak usah jauh-jauh, Australia saja yang saya kenal banget 8 tahun disana, orang-orangnya terikat secara hukum, dan nggak main-main dengan hukum.
Kalau mereka mereka main-main, dia penaltinya nggak alang kepalang, kalau sampai di taraf hukum, sistem hukum kita, kualitas hukum kita maka akan mengikat, jadi ada keterikatan masyarakat dan elit kepada hukum. Dalam keadaan hukum kita, saat ini seperti menegakkan benang basah ibaratnya untuk hukum kita lalu untuk mendirikan PT. Seperti apa kita menghadapi oligarki, jadi jangan trial and error kita dengan membandingkan negara dan negara maju lain yang kita tidak setara. Terlalu jauh membandingkan negara kita dengan Jerman.
Saat ini DPR sedang membuat paket undang-undang politik yang akan menggabungkan berbagai aturan perundangan politik di Indonesia, bagaimana tanggapan Anda mengenai hal ini?
Kalau memang mau diharmonisasi, diharmonisasi secara serius, sehingga nanti daerah-daerah mengajukan itu enak, ketika Pilkada, ketika Pemilu legislatif, Pemilu Pilpres, dan sebagainya. Jadi kodifikasi tadi itu memang relevan dan signifikasn untuk dilakukan ketika memang prospeknya bangus, jangan kalau prospeknya negatif, satu contoh, kalau pengembangan daerah ini dipaksakan, pasti akan menjadi daerah tertinggal.
Kalaupun ini sampai akan dikodifikasi, maka itu harus ada naskah akademiknya, lalu diujikan, ditanyakan kepada publik luas, jadi ini disosialisasikan sehingga ada dialog, jangan ujung-ujung ada ketuk palu tengah malam nanti didemo.
tirto.id - News
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Anggun P Situmorang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar