Bioethanol Masuk PSN, Pemerintah Didorong Intervensi Bahan Baku | Sindo news

 

Bioethanol Masuk PSN, Pemerintah Didorong Intervensi Bahan Baku | Halaman Lengkap

Sebagai regulator, Pemerintah diharapkan serius mendorong pengembangan bioethanol sebagai bahan bakar nabati (BBN). Terlebih, bioethanol sudah ditetapkan sebagai salah satu PSN. Foto/Dok

JAKARTA 

- Sebagai regulator, Pemerintah diharapkan serius mendorong pengembangan

bioethanol 

sebagai

bahan bakar nabati (BBN) 

. Terlebih, bioethanol sudah ditetapkan sebagai salah satu

Proyek Strategis Nasional (PSN) 

.

Demikian disampaikan Direktur Eksektif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Ia juga menegaskan, bahwa dengan ditetapkannya bioethanol ditetapkan sebagai salah satu PSN, maka Pemerintah harus bersedia melakukan intervensi di bidang bahan baku.

“Perlu keseriusan Pemerintah. Hal yang utama adalah Pemerintah harus melakukan intervensi pengadaan feedstock (bahan baku),” ujar Fabby kepada media.

Baca Juga

Mendorong Pengembangan Bioethanol dari Sumber Selain Tebu

Keseriusan Pemerintah, menurut Fabby memang sangat dibutuhkan. Karena setidaknya terdapat tiga tantangan yang harus dihadapi.

Tantangan pertama, lanjut Fabby, tanaman yang menjadi sumber bahan baku bioethanol di Indonesia sangat sedikit jika dibandingkan kelapa sawit. Itu sebabnya, pengembangan biodiesel B40 lebih mudah dan cepat, karena tinggal menghitung, berapa banyak untuk BBN dan berapa yang untuk ekspor. Hal itulah yang membedakan dengan bioethanol.

“Sekarang kita lihat bioethanol. Ethanol itu kan dihasilkan dari tanaman juga seperti tebu, jagung, sorgum maupun singkong. Masalahnya, feedstock-nya tidak cukup. Gula saja masih impor kok. Sedangkan untuk ethanol diambil molasenya kan juga enggak cukup dengan bahan baku yang ada,” kata Fabby.

Tantangan kedua untuk menghasilkan ethanol dengan standar fuelgrade juga tidak mudah karena yang dibutuhkan adalah ethanol 99%. “Meski bukan hal sulit dipelajari. Tetapi untuk menghasilkan ethanol fuelgrade tetap membutuhkan intervensi Pemerintah,” ujarnya.

Tantangan ketiga soal harga. Menurut Fabby, harga ethanol di pasar internasional kemungkinan besar lebih tinggi dari harga minyak, karena ethanol juga menjadi bahan baku untuk industri dan pangan.

Fabby mengingatkan, dalam pengembangan bioethanol, tidak terdapat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) seperti pada biodiesel. Pada biodiesel, jika harga FAME terlalu mahal, misalnya, maka subsidi bisa dihimpun dari badan tersebut, yang dihimpun dari pengusaha sawit.

“Karena itulah, jadi kalau tetap mau mengembangkan bioethanol dengan harga terjangkau, Pemerintah harus siap-siap (menggunakan APBN untuk subsidi),” ujar Fabby.

Jika Indonesia tetap ingin mengembangkan bioethanol, imbuhnya, Pemerintah harus melakukan intervensi terhadap tiga tantangan tersebut, terutama pengadaan bahan baku yang masih sedikit.

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara. Menurutnya, Pemerintah harus serius mendorong pengembangan bioethanol. Pemerintah, kata Marwan, harus terlibat aktif. Misalnya untuk mengerahkan potensi BUMN, keuangan sehingga bisa menyediakan bahan baku bioethanol dengan skala massal.

“Kita bisa enggak membangun lahan perkebunan singkong atau tebu yang luasannya bisa menghasilkan bahan mentah (ethanol) berharga murah,” kata Marwan.

Baca Juga

Hasilkan Energi Ramah Lingkungan, Legislator Ungkap Urgensi Bangun Pabrik Bioethanol

Kondisi itulah yang menurut Marwan, membedakan dengan biodiesel. Biodiesel lanjutnya, didukung perkebunan kelapa sawit, yang menurut data resmi Pemerintah pada 2023 seluas 16,3 juta hektar dan tersebut di 26 provinsi Indonesia.

“Kalau bioethanol, kebun singkong atau tebu kita dari sisi produksi saat ini tidak akan bisa mengimbangi produksi CPO. Itu dasarnya. Kecuali kalau Pemerintah memang mau intensif menanam singkong atau tebu dengan luas lahan jutaan hektare,” kata dia.

(akr)

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya 

Artikel populer - Google Berita