Bisakah Negara Paksa Aplikator Bayar THR Driver Ojol?

ANALISIS
Selasa, 18 Feb 2025 07:00 WIB
Driver ojol mendesak pemerintah memaksa aplikator mau mengakui mereka sebagai pekerja supaya bisa mendapatkan THR dan hak-hak lainnya. (CNN Indonesia/Adi Ibrahim).
--
Perjuangan driver ojek online (ojol) untuk mendapatkan tunjangan hari raya (THR) dan pengakuan dari negara sedikit demi sedikit mulai mendapatkan angin segar.
Angin segar didapat setelah sekitar kurang dari 50 pengemudi ojek online berkumpul di halaman Kementerian Ketenagakerjaan pada Senin (17/2) pukul 10.37 WIB. Mereka disambut Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer.
Bahkan, Noel sapaan akrab sang wakil menteri ikut berorasi bersama para pengemudi. Dalam orasinya, Noel mengultimatum pengusaha dan aplikator membayar THR driver ojol dalam bentuk uang tunai bukan sembako sebagaimana terjadi selama ini.
Kalau tidak, menegaskan negara akan memaksa mereka.
"Saya ingin menyampaikan bahwa negara adalah sifatnya memaksa (aplikator membayar THR kepada driver ojol). Negara tidak akan membiarkan warga negaranya dieksploitasi," kata Noel di atas mobil komando.
"Jadi, negara atau pemerintah berharap aplikator ini berilah hak yang menjadi tuntutan mereka. Mereka tidak minta gaji direksi, mereka tidak minta yang namanya saham, mereka hanya meminta hak mereka selama di jalanan. Bukan lagi beras dan lain-lain (sembako). Kita mau itu (THR) berbentuk duit atau uang," tegasnya.
Belum ada jawaban dari pengusaha platform, seperti Gojek sampai Grab terkait THR ojol. Begitu pula dengan ide nominal THR harus setara upah minimum provinsi (UMP).
Di lain sisi, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli yang menerima audiensi pada 13.33 WIB meminta puluhan driver ojol bersabar. Ia mengaku masih butuh beberapa hari lagi untuk mengupayakan THR, termasuk berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan serta Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menilai pemerintah tidak bisa memaksa aplikator dalam ribut-ribut tunjangan hari raya. Pasalnya, belum ada landasan hukum yang jelas pemberian THR bagi pekerja kemitraan.
"Pemerintah boleh mengimbau, tetapi belum boleh mewajibkan (pembayaran THR ojol)," tegas Payaman.
Menurutnya, serikat pekerja driver ojol harus mendorong pertemuan dengan pemerintah dan manajemen aplikasi. Payaman menyebut penting untuk mendudukkan terlebih dahulu status pekerja aplikasi tersebut.
Ia meminta pemerintah segera mengatur hubungan kerja antara pengemudi ojek online dengan aplikator. Dengan begitu, hak-hak semacam THR hingga BPJS Ketenagakerjaan tak lagi abu-abu.
"Jadi, (driver ojol) bukan melakukan demo menuntut THR. Tuntutan THR belum ada landasan hukumnya," tuturnya.
"Siapa saja yang berhak mendapat THR? Berapa besaran yang diterima? Banyak pengemudi online kerja sambilan atau kerja tambahan, apakah mereka juga berhak?" tambah Payaman mempertanyakan keinginan driver ojol.
Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Airlangga Hadi Subhan menyebut masalah kemitraan adalah hal penting yang tertinggal dalam revisi UU Ketenagakerjaan. Hak dan kewajiban pekerja platform pada akhirnya luput di dalam Omnibus Law Cipta Kerja.
Hadi melihat hubungan kerja dengan para driver ojol pada akhirnya tak diakomodir dalam sistem norma hukum ketenagakerjaan sekarang. Ini berujung pada sulitnya para pekerja kemitraan memperjuangkan hak berupa THR.
"Sehingga, THR belum menjadi kewajiban normatif bagi perusahaan. Hanya kewajiban moral yang diserahkan ke perusahaan," kata Hadi.
"Tanpa mengubah UU Ketenagakerjaan, maka kejelasan status driver ojol tersebut sulit diperjelas," sambungnya.
Ia menilai pemberian THR bagi driver ojol saat ini bergantung pada kemampuan finansial masing-masing perusahaan. Tak ada angka khusus karena faktanya memang belum ada aturan hukum terkait pekerja platform.
Komentar
Posting Komentar