Pendidikan,
Seleksi Bersama PPDS, Pakar UGM Sorot Insentif-Tes Kesehatan Mental
![](https://akcdn.detik.net.id/api/wm/2024/06/21/ilustrasi-dokter-melakukan-operasi_169.jpeg?wid=54&w=650&v=1&t=jpeg)
-
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) resmi bekerja sama untuk mengadakan Seleksi Bersama Penerimaan Peserta Didik Program Pendidikan Dokter Spesialis/Subspesialis (PPDS), Selasa (22/1/2025) lalu.
Mendiktisaintek dan Menkes selanjutnya akan menetapkan teknis tata cara seleksi dan pertimbangan afirmasi untuk pemerataan distribusi di tiap wilayah.
"Seleksi nasional untuk peserta didik PPDS harus dapat meningkatkan akses yang berkeadilan, dengan tetap berpegang teguh pada kualitas dan kepentingan keselamatan masyarakat. Peserta didik dokter spesialis juga harus dapat dijamin pemenuhan hak dan kewajibannya sesuai dengan amanah UU Kesehatan," kata Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro, dikutip dari laman Dikti Kemdikbud.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tantangan Pemerataan Dokter Spesialis
Merespons seleksi bersama PPDS, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK UGM) dr Ahmad Hamim Sadewa, PhD menilai positif langkah pemerintah dalam meningkatkan dan meratakan pemenuhan kebutuhan dokter spesialis se-Indonesia. Namun, masalah pemerataan dokter spesialis di daerah menurutnya cukup kompleks.
Hamim menjelaskan, upaya peningkatan jumlah dan pemerataan distribusi dokter spesialis sebelumnya dilakukan sejak 2022 lewat beberapa program. Salah satunya lewat peningkatan kuota mahasiswa program sarjana dan dokter spesialis, serta penambahan program studi.
Upaya tersebut kini telah menghasilkan 4.000 lulusan per tahun. Namun, ketersediaan tersebut belum mencukupi kebutuhan dokter spesialis di sejumlah daerah.
"Masalah pemerataan ini cukup kompleks ya. Bukan hanya PPDS, tapi bagaimana membuat dokter-dokter spesialis mau bekerja di daerah," ucapnya dalam pernyataan di laman UGM.
Sementara itu, program afirmasi menurut Hamim juga belum menuntaskan masalah kekurangan dokter spesialis. Program ini menyediakan kuota afirmasi minimal 10% pada calon dokter spesialis.
Harapannya, setelah lulus, para dokter spesialis bisa kembali bekerja di daerah asal. Namun menurut Hamim, mayoritas dokter yang sudah bekerja beberapa tahun di daerah akan lanjut bekerja di kota.
Dikutip dari laman Kementerian Kesehatan, 59 persen dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa. Akibatnya, lebih dari 30 provinsi di Indonesia kekurangan dokter spesialis. Ada pula dokter spesialis yang ingin berkontribusi di luar negeri, dengan alasan keuangan hingga fasilitas.
Soal Insentif, Keamanan, dan Tes Kesehatan Mental
Hamim menyorot rendahnya tingkat retensi atau mempertahankan dokter spesialis. Menurutnya, masalah ini dipengaruhi faktor sarana dan prasarana, insentif, hingga keamanan. Ia menyarankan agar pemerintah bisa ikut mempertimbangkan jaminan keamanan dan kelengkapan medis di layanan kesehatan daerah.
"Banyak yang tidak betah bekerja di daerah karena kesulitan akses, minim insentif, dan ancaman keamanan. Padahal aspek tersebut sangat penting agar dokter bisa bekerja dengan maksimal," ucapnya.
Sedangkan saat PPDS, ia menyarankan agar alur dan aspek kompetensi yang diuji dalam PPDS ditambahkan dengan penilaian lain di luar pengetahuan umum. Contohnya seperti tes kesehatan mental. Sebab, ia menilai dokter perlu memiliki stabilitas kesehatan mental yang baik dalam menangani pasien.
"Saya kira perlu ditambahkan misalnya tes untuk menguji kesehatan mental, sikap, jadi tidak hanya kompetensi dasar saja. Itu penting," tegasnya.
Ia juga menyarankan agar jalur penerimaan PPDS dibuat menjadi dua skema, yakni seleksi bersama dan mandiri. Menurutnya, akan lebih mudah untuk membuka jalur penerimaan baru daripada mengganti sistem yang sudah berjalan.
"Karena saat ini pun masih banyak universitas yang perlu berupaya untuk membuka program studi baru khusus untuk dokter spesialis/subspesialis," ucapnya.
Sementara itu, FK-KMK UGM sendiri masih menunggu perintah resmi mengenai seleksi bersama PPDS dari Kemenkes-Kemendiktisaintek. Ia mengonfirmasi bahwa penerimaan PPDS pada Maret 2025 masih menggunakan skema di masing-masing universitas.
(twu/pal)
Komentar
Posting Komentar