Dunia Internasional,
CEO Dassault Aviation Ngamuk, Ada yang Tak Beres dalam Proyek Jet Generasi Keenam Eropa dan Makin Runyam - Zona Jakarta
ZONAJAKARTA.COM - CEO Dassault Aviation, Eric Trappier, tiba-tiba tak bisa menyembunyikan kemarahannya dan mengecam mitra kerjanya, Airbus, dalam proyek pesawat generasi keenam Eropa.
Kemarahan Trappier itu mengungkap betapa kerja sama Future Air Combat System (FACS) antara Prancis, Jerman, dan Spanyol untuk mengembangkan pesawat generasi keenam semakin runyam.
Sebab itu, hingga kini pergerakan FCAS masih lambat dibanding proyek sejenis lainnya.
China paling maju dalam mengenbangkan pesawat generasi keenam dan sudah menerbangkan dua prototipenya, yakni J-36 dan J-50.
China bahkan berencana pesawat masa depan mereka itu sudah bisa beroperasi pada 2030.
Sedangkan konsorsium lain, Global Combat Air Programme (GCAP) yang terdiri dari Jepang, Inggris, dan Italia, sudah mulai menuju pengembangan yang lebih nyata.
Sementara itu Amerika Serikat (AS) juga sudah memberikan kontrak kepada Boeing untuk menjalankan program Next Generation Air Dominance (NGAD) dengan membuat pesawat generasi keenam yang diberi nama F-47.
FCAS sampai saat ini masih berkutat dengan berbagai perdebatan dan konflik-konflik internal.
Kerja sama FCAS ini pada Desember 2022 memberikan kontrak kepada Dassault Aviation sebagai wakil Prancis, Airbus sebagai wakil Jerman dan Spanyol, serta Indra Sistemas and Eumet.
Namun, hingga kini perkembangan FCAS tak juga mengerucut.
Belakangan, Eric Trappier malah mengecam kerja sama dengan Airbus dalam pengembangan jet tempur generasi keenam Eropa ini.
Ia mengatakan kepada anggota parlemen Prancis, "Kerja sama ini sangat, sangat sulit di tengah pertikaian yang terus berlanjut mengenai pembagian kerja."
"Ada yang tidak beres," tegas Trappier dalam sidang komite pertahanan Majelis Nasional Prancis, seperti dikutip Defense News, Rabu (7/5/2025).
"Jadi, hal itu perlu ditinjau ulang. Bukan tugas saya untuk melakukan itu, tugas negara-negara bagian untuk bekerja sama mencari cara yang lebih baik untuk mengelola program ambisius ini," tandasnya.

Prancis, Jerman, dan Spanyol memberikan kontrak senilai 3,6 miliar dolar AS (sekitar Rp 59 triliun) kepada Dassault Aviation, Airbus, Indra Sistemas, dan Eumet untuk fase 1B Future Combat Air System (FCAS).
Proyek ini mencakup penelitian, teknologi, dan desain keseluruhan.
Namun, hampir setahun para anggota konsorsium ini lebih banyak menghabiskan waktu dan energi untuk berselisih.
Baru awal Mei 2025, konsorsium mencapai kesepakatan lagi, namun kembali diliputi percekcokan.
Dalam perjanjian, Dassault Aviation menjadi kontraktor utama untuk pesawat tempur generasi baru atau NGF yang menjadi inti sistem tempur.
Sedangkan Airbus sebagai mitra utama atas nama Jerman dan Spanyol.
Setelah fase pengembangan, langkah selanjutnya adalah membangun percontohan di fase 2.
Seperti kesepakatan, Prancis akan mengumumkan pada 2026 untuk rencana penerbangan pertama prototipe pesawat generasi keenam Eropa pada 2029.
Perdebatan antara para mitra tentang cara membagi beban kerja menyebabkan penundaan.
"Sehingga, kesepakatan pada Tahap 2 masih akan memakan waktu, itu sudah pasti,” kata Trappier.
Eric Trappier memang suka blak-blakan dan sebelumnya mengkritik bagaimana pekerjaan pada FCAS diorganisasikan.
Ia pernah berbicara di sidang parlemen pada Mei 2023 bahwa kerja sama FCAS dengan tiga mitra sangat sulit terutama dengan Airbus.
"Tapi kami sangat yakin dengan kemampuan kami untuk bersama-sama mengembangkan prototipe (pesawat generasi keenam)," katanya waktu itu.
Berbeda dengan pernyataan Eric Trappier, dalam tanggapannya barunya minggu ini, Airbus mengatakan bahwa program FCAS telah membuat kemajuan yang kuat, termasuk pencapaian tinjauan pemilihan konsep dalam kontrak fase 1B.


"Kami sekarang sedang dalam perjalanan menuju kontrak fase 2," kata perusahaan itu dalam pernyataan melalui email kepada Defense News.
“Kami berkomitmen pada FCAS yang merupakan tulang punggung industri pertahanan dan otonomi strategis Eropa,” kata Airbus.
“Kami percaya pada FCAS sebagai program industri kolaboratif Eropa, terlebih lagi dalam konteks geopolitik saat ini. Itulah komitmen kami sejak awal, untuk mengejar sistem yang melampaui pesawat tempur Eropa masa depan.”
Sementara itu, pemerintah baru Jerman mengatakan minggu ini, pihaknya berencana untuk segera melanjutkan pengembangan FCAS sesuai perjanjian koalisi antara CDU/CSU yang konservatif dan SPD yang berhaluan kiri-tengah.
Trappier mengatakan, metodologi kerja FCAS yang terfragmentasi menjadi penyebab penundaan.
"Setiap kali kita membuka kembali diskusi, arahnya tidak ada gunanya dan tak berujung," kecamnya.
Trappier mengatakan, dia tidak setuju dengan model itu dan fokusnya harus pada memprioritaskan keterampilan terbaik.
Persoalan lain yang dikeluhkan Trappier adalah, meskipun Dassault Aviation adalah kontraktor utama, perusahaan Prancis itu hanya memiliki sepertiga suara dalam pengambilan keputusan.
"Sedangkan Airbus memiliki dua pertiga suara atas nama Jerman dan Spanyol," kata Trappier.
"Itu berarti perusahaan utama di NGF tidak dapat membagi pekerjaan sesuai keinginannya," keluh CEO Dassault Aviation tersebut.
“Kita harus terus-menerus mengakomodasi, terus-menerus bernegosiasi. Itulah yang disebut negosiasi permanen. Saya harap kita akan mencapai kesepakatan untuk melangkah maju,” tandasnya.
Menurut trappier, perhitungan tentang bentuk pesawat masa depan telah selesai.
"Kita tahu cara memproduksinya, membuatnya terbang secepat mungkin. Saya sangat mendukung upaya percepatan,” kata Trappier.
Ia menyebutkan, proyek pesawat nirawak nEUROn yang dipimpin Prancis sebagai contoh seperti apa seharusnya kerja sama itu.


Dengan enam negara anggota berhasil mengembangkan pesawat nirawak tempur "ultra-siluman" dengan anggaran yang terbatas.
Trappier mengatakan, Dassault Aviation sebagai manajer program tidak berkompromi pada produk.
Kerja sama nEUROn, kata Trappier, menjadi contoh keberhasilan karena ada sistem yang tegas dan adil.
"Kami tidak memilikinya hari ini pada NGF (FCAS) dan saya sangat menyesal tentang hal itu," katanya.
Ia mengatakan, Dassault Aviation terpojok dan sendirian melawan dua mitra (Jerman dan Spanyol), dan harus membujuk lebih keras lagi untuk mencapai keputusan.
Trappier mengatakan, beberapa mitra FCAS seperti Thales adalah pemimpin di bidang elektronika pertahanan karena sejarah Prancis dalam mencari otonomi strategis.
Sementara itu, ketika Dassault Aviation ingin bekerja sama dengan mitra Jerman, teknologi tertentu yang berasal dari Eurofighter tidak bisa digunakan.
"Jadi, kami terus-menerus menghadapi kesulitan pembagian kerja ini," katanya kepada para anggota parlemen.
Dassault Aviation membuat pesawat tempur Rafale untuk Prancis, sementara Airbus membangun Eurofighter yang digunakan di Jerman dan Spanyol.
Kedua pesawat tersebut berakar dari kolaborasi multinasional pada awal 1980-an untuk pesawat tempur Eropa masa depan.
Prancis memilih untuk mengerjakan Rafale sendiri setelah terjadi perselisihan mengenai kewenangan desain dan persyaratan operasional.
Berkaca pada sejarah itu, proyek pesawat generasi keenam FCAS pun berpotensi terjadi perpecahan dan Prancis beberapa kali menyatakan bahwa Dassault Aviation bisa mengembangkan Rafale sebagai platform pesawat masa depan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar