7 Perguruan Tinggi Suarakan Kolegium Dokter Indonesia Tak Diambil Alih Pemerintah | Halaman Lengkap


Dua guru besar FK Unair, Prof Dr dr Djohansjah Marzoeki, SpBP RE (kiri) dan Prof Dr dr David Perdanakusuma, SpBP RE (dua dari kanan). Foto/Masdarul.
-
Guru besardari tujuh
Fakultas Kedokteran(FK) di Indonesia melakukan aksi serentak, Kamis (12/6/2025). Bukan dengan demo tapi dengan diskusi atau mini simposium. Salah satunya juga dilakukan para guru besar di FK Universitas Airlangga (Unair).
Para guru besar dan dokter FK Unair berkumpul untuk menyuarakan apa yang menjadi keprihatinan mereka.
Enam perguruan tinggi yang melakukan aksi antara lain Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Sumatera Utara (USU).
Baca juga: Kisah Iqbal Rasyid, Anak Buruh Harian Bengkulu yang Tembus Kedokteran UI
Seperti diketahui, saat ini sedang berlangsung gugatan para dokter yang tergabung dalam IDI di Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menggugat UU no 17/2023 tentang Kesehatan. Sudah digelar sembilan lagi sidang dan akan memasuki sidang putusan dalam beberapa hari ke depan.
Dalam gugatan itu, para guru besar itu meminta Kolegium Dokter Indonesia dalam hal ini IDi, tidak diambilalih atau di bawah pemerintah.
Prof Dr dr Djohansjah Marzoeki, salah satu guru besar FK Unair menegaskan kolegium dalam bidang kedokteran itu bukan ranah negara. Dalam bidang kedokteran kata Prof Djohansjah dibagi menjadi dua yakni dari sisi keilmuan dan praktik. Kalau dari sisi keilmuan, diampu oleh kolegium.
Baca juga: Guru Besar FKUI Prihatin soal Kebijakan Kesehatan dan Pendidikan Kedokteran, Ini Respons Kemenkes
"Dan selama ini kolegium bekerja untuk bidang pendidikan, yang menentukan standar kompetensi, standar keilmuan dan standar kurikulum. Jadi memang bukan ranah negara," kata guru besar bidang bedah plastik ini.
Ketika menentukan standar keilmuan dan kompetensi itu kata Prof Johansjah sudah baku dan berlaku di semua negara.
"Jadi tanpa ada batas negara, semua sama. Ilmu yang sama itu terkait di seluruh dunia. Misal penelitian (tentang ilmu tertentu) dilakukan di sini, itu akan dievaluasi di seluruh dunia. Jangan sampai di sini benar dan di sana salah. Atau di sini salah di sana benar. Semua berlaku dengan standar yang sama di seluruh dunia tanpa ada batas negara," tandasnya.
Prof Djohansjah menyoroti isu yang sedang hangat yakni dokter umum bisa melakukan operasi sesar. Ditegaskan dokter yang melakukan operasi ganti kelamin Dorce Gamalama itu pemerintah tidak punya wewenang menentukan itu. Karena kompetensi itu ditentukan oleh kolegium. .
"Kapan seorang dokter itu bisa atau tidak berkecimpung di bidang bedah, maka yang menentukan kolegium. Kalau dibiarkan maka yang akan dirugikan pasien. Karena dokter umum hanya bisa membedah untuk bantu kelahiran. Tapi saat proses itu bisa terjadi komplikasi, jika begitu dokter umum tidak akan bisa menanganinya," jelas Prof Djohansjah.
Khawatir Dikelola Orang yang Tidak Ahli
Ditambahkan Guru besar FK Unair yang lain, Prof Dr dr David Perdanakusuma, SpBP RE, kolegium itu tidak bisa dipisahkan dengan ilmu. Karena kolegium itu adalah pengampu keilmuan.
"Misal pengampu dalam bidang bedah, apakah diambilalih negara? Tidak. Standar bedah itu sama antara di Indonesia dengan negara lain. Jadi tidak ada yang diambilalih negara. Negara boleh memberikan power ke kolegium, memberikan support dan menaungi, bukan mengambil alih," tandasnya.
Karenanya orang yang berkecimpung di kolegium itu harus orang yang ahli. Jika tidak ahli maka tidak bisa mengelola dan mengambilalihnya. Karena kolegium itu menentukan tiga standar seorang dokter di Indonesia yakni keilmuan, kompetensi dan kurikulum.
"Jika dikelola orang yang tidak ahli, maka akan terjadi kekacauan dalam pengelolaan keilmuan itu sendiri. Orangnya tidak pernah berkecimpung di ilmu itu bagaimana bisa mengelola dengan baik. Yang dikhawatirkan itu sekarang diambil orang-orangnya maka ke depan diambilalih ilmunya," tandasnya.
Guru besar FK Unair yang lain, Prof Joni Wahyuhadi, SpBS menambahkan harusnya semua pihak bergandengan tangan untuk memajukan dunia kedokteran di Indonesia. Apalagi, saat ini banyak orang Indonesia yang berobat ke luar negeri. Padahal kompetensi dan kemampuan para dokter di Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan di luar negeri.
“Ada tiga hal yang harus dimiliki seorang dokter, ilmunya, empatinya dan etikanya. Terkadang pasien mengakui kemampuan dokter di sini, namun mereka tidak suka karena dokter itu tidak punya empati dan etika. Makanya ketiga hal ini harus dirumuskkan dalam kurikulum,” katanya.
(nnz)
0 Komentar