Kerusakan Raja Ampat Nyata. Mengapa Bahlil Terus Menyangkal? | Tempo


SATU hari setelah kunjungannya ke Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menggelar konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta. Di hadapan awak media, Bahlil mengatakan turun langsung ke lokasi tambang nikel di Raja Ampat setelah menjadi viral di media sosial.
Bahlil menemui sejumlah tokoh masyarakat di sana pada 7-8 Juni 2025. "Dari temuan kami di lapangan serta masukan gubernur dan bupati, mereka ingin daerahnya juga maju. Sebenarnya ada harapan juga," katanya dalam jumpa pers, Selasa, 10 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kesempatan itu, selama sekitar 20 menit, Bahlil menunjukkan berbagai dokumentasi yang menampilkan kondisi di Raja Ampat. Dia memamerkan foto dan video hasil kunjungan ke Raja Ampat. Ia memampangkan beberapa foto Raja Ampat tercemar yang beredar di media sosial, tapi dengan memberi cap "hoax" pada foto-foto tersebut.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia (kanan) meninjau tambang PT Gag Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Sabtu, 7 Juni 2025. Dok. Kementerian ESDM
Dalam paparannya, Bahlil mengkomparasikan video yang dibuat kementeriannya dengan unggahan video Greenpeace Indonesia, organisasi pegiat lingkungan, yang menggambarkan deforestasi akibat aktivitas tambang di sana. Ia mengklaim, berdasarkan temuannya, tidak ada kerusakan lingkungan seperti kabar yang beredar di media sosial.
Bahlil kemudian menunjukkan foto dan video kondisi Piaynemo yang masuk kawasan geopark di Raja Ampat. Piaynemo merupakan salah satu tujuan wisata di gugusan Kepulauan Raja Ampat di Desa Pam, Kecamatan Waigeo Barat Kepulauan, Papua Barat Daya. Ia menjelaskan, lokasi Piaynemo jauh dari Pulau Gag—sekitar 42 kilometer—yang disebut sebagai lokasi tambang nikel. "Jadi mohon kepada saudara-saudara sebangsa dan se-Tanah Air, dalam menyikapi berbagai informasi, tolong berhati-hati, harus bijak," ujarnya.
Bahlil juga menunjukkan kondisi Pulau Gag yang didokumentasikan melalui udara. Saat berkunjung ke Pulau Gag yang menjadi konsesi tambang nikel milik PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam Tbk, Bahlil menyatakan tidak menemukan kerusakan lingkungan. Begitu pula soal pencemaran laut, ia mengklaim kondisi terumbu karang di sana masih terjaga dengan baik. Sebab, lokasi konsesi penambangan jauh dari kawasan konservasi di Raja Ampat. "Jadi, sangatlah mohon maaf, tidak obyektif kalau ada gambar lain yang kurang pas," ucap Ketua Umum Partai Golkar itu.
Dalam sepekan terakhir, media sosial diramaikan dengan menggemanya kampanye #SaveRajaAmpat yang bertujuan menuntut pemulihan ekosistem di Raja Ampat dengan mencabut izin usaha pertambangan (IUP) nikel perusahaan tambang di sana. Kampanye ini tidak hanya dilakukan pegiat lingkungan, tapi juga kalangan lain. Greenpeace Indonesia menyebutkan ada lebih dari 60 ribu orang dengan beragam latar belakang turut serta dalam kampanye ini.
Aliansi Jaga Alam Raja Ampat—kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerja sama dengan Greenpeace dalam kampanye #SaveRajaAmpat—menyatakan penandatanganan petisi oleh lebih dari 60 ribu orang yang menuntut pengembalian ekosistem Raja Ampat dari ancaman penambangan nikel menandakan besarnya perhatian publik terhadap kelestarian lingkungan. "Kampanye ini terus berlangsung hingga Raja Ampat aman dari ancaman perusahaan tambang," ujar Koordinator Aliansi Jaga Alam Raja Ampat Yohan Sauyai, Selasa, 10 Juni 2025.
Yohan menjelaskan, aktivitas penambangan nikel di gugusan pulau Raja Ampat ditengarai menyebabkan kerusakan lingkungan. Aktivitas itu, kata dia, di antaranya pembukaan lahan dengan membabat hutan. Aliansi mendesak pemerintah mengawasi secara ketat aktivitas penambangan, khususnya yang dilakukan PT Gag Nikel. "Kerusakan alam di wilayah lain yang menjadi konsesi tambang adalah bukti nyata," ucapnya.
Meski Pulau Gag disebut berjarak sekitar 42 kilometer dari Piaynemo, warga tetap gelisah terhadap dampak pertambangan. Informasi adanya tambang di Raja Ampat mengakibatkan beberapa wisatawan membatalkan perjalanannya. Kondisi ini dikeluhkan Joshias Kapitarau, warga di sekitar dermaga Piaynemo.
"Biasanya dalam satu hari 50 speed boat masuk (Piaynemo). Karena adanya informasi soal tambang, hari ini tak sampai 20 speed boat," tutur Joshias, seperti dilansir dari Antara, Selasa, 10 Juni 2025. Dia tidak bisa mengira-ngira penurunan jumlah wisatawan. Tapi, pada hari-hari biasa atau sebelum isu tambang nikel di Raja Ampat mencuat, jumlah wisatawan bisa mencapai 500-1.000 orang per hari.
Joshias tidak hanya khawatir terhadap pencemaran laut akibat kehadiran tambang nikel. Lebih dari itu, ia takut jika tambang nikel di Pulau Gag mendorong pulau-pulau lain di kawasan Raja Ampat dijadikan area tambang. Ketika pulau-pulau di dekat Piaynemo menjadi sasaran para penambang nikel, tidak ada lagi lautan jernih yang menjadi daya pikat gugusan kepulauan tersebut.
Kekhawatiran itu adalah munculnya aktivitas tambang di pulau-pulau lain di Raja Ampat, salah satunya Pulau Batang Pele. Jarak dari Piaynemo ke Batang Pele kurang-lebih 30 kilometer, 10 kilometer lebih dekat dibanding ke Pulau Gag.
Timothius Mambraku, pengusaha penginapan di Pulau Manyaifun, tegas menolak tambang nikel di Batang Pele karena merugikan Manyaifun sebagai destinasi para wisatawan menginap. Dia menuturkan penolakan tersebut menuai perlawanan dari kubu yang mendukung perusahaan tambang hingga menimbulkan perselisihan yang memicu konflik di masyarakat.
Pertambangan nikel PT Gag Nikel di Pulau Gag, Distrik Waigeo Barat, Raja Ampat, Papua Barat Daya, 1 Maret 2025. Dok. Greenpeace
Bahlil mengatakan pemerintah memutuskan mencabut IUP nikel milik empat dari lima perusahaan di Raja Ampat. Keempat perusahaan itu adalah PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham.
Menurut Bahlil, keempat perusahaan pemilik konsesi tambang nikel di Pulau Kawe, Pulau Manuran, Pulau Manyaifun dan Batang Pele, serta Pulau Waigeo itu tak sejalan dengan ketentuan. Sebab, lokasi konsesi mereka berada di kawasan geopark Raja Ampat sehingga berpotensi merusak ekosistem. Ia menyebutkan keempat perusahaan juga tidak mengajukan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).
Namun pemerintah mempertahankan izin tambang PT Gag Nikel lantaran dinilai tak melanggar lingkungan dan memenuhi syarat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) untuk aktivitas tambang. Apalagi PT Gag merupakan aset negara. Menurut tim evaluasi Kementerian Energi, kata Bahlil, penambangan oleh perusahaan tersebut sesuai dengan amdal.
Meski tak mencabut IUP PT Gag Nikel, Bahlil mengungkapkan, Kementerian Energi tetap mengawasi aktivitas tambang perusahaan. Ia menyebutkan fokus utama pengawasan adalah perkembangan amdal, reklamasi, dan pelestarian biota laut. "Betul-betul kami awasi urusan di Raja Ampat," katanya.
Bahlil menyebutkan konsesi PT Gag Nikel tidak berada di dekat area kawasan geopark Raja Ampat. Menurut dia, Pulau Gag yang menjadi area operasi PT Gag berjarak sekitar 42 kilometer dari Piaynemo sehingga secara geografis lebih dekat dengan wilayah Maluku Utara. Dari total konsesi yang diberikan seluas 13.136 hektare, PT Gag Nikel baru membuka 260 hektare lahan. "Seluas 130 hektare telah direklamasi dan 54 hektare telah dikembalikan kepada negara," ujarnya.
Menyederhanakan Persoalan Tambang di Raja Ampat
Menanggapi hal tersebut, anggota Aliansi Jaga Alam Raja Ampat, Ronisel Membrasar, mengatakan pemerintah terlalu menyederhanakan persoalan tambang nikel di Raja Ampat hanya dengan kacamata media sosial. Menurut dia, konsesi tambang tidak hanya terjadi di Pulau Gag, tapi juga di beberapa pulau lain di kawasan Raja Ampat. Ia berharap pemerintah melihat dampak tambang nikel di wilayah lain yang menjadi konsesi penambangan, salah satunya di Pulau Obi, Maluku Utara.
Ronisel menyayangkan sikap pemerintah yang mendelegitimasi kampanye #SaveRajaAmpat dengan menyebutkan temuan masyarakat atau Greenpeace sebagai hoaks. Jika temuan kerusakan ekosistem di Raja Ampat itu dinilai hoaks, dia menegaskan, seharusnya kampanye tagar #SaveRajaAmpat tak memperoleh banyak respons dari masyarakat. "Mereka yang terlibat menentang aktivitas tambang di sana bukan hanya satu kalangan, melainkan juga dari latar belakang yang berbeda-beda," ucapnya.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia Kiki Taufik mengatakan semua dokumentasi dan temuan yang dimiliki organisasinya merupakan temuan valid. Ia menyebutkan, misalnya, di Pulau Manuran yang menjadi konsesi PT Anugerah Surya Pratama ditemukan deforestasi untuk pembukaan lahan tambang. "Skalanya cukup besar," tuturnya. Ia memastikan rekaman video Greenpeace yang diambil menggunakan drone di Pulau Manuran bukan rekayasa artificial intelligence (AI).
Pertambangan nikel di Pulau Manuran, Distrik Supnin, Raja Ampat, Papua Barat Daya, 27 Agustus 2024. Greenpeace/Sumaryanto Bronto
Kerusakan ekosistem, Kiki melanjutkan, juga ditemukan di Pulau Gag. Menurut Kiki, deforestasi untuk membuka lahan akan memicu sedimentasi hasil tambang yang berpotensi merusak biota laut di perairan Raja Ampat. Apalagi, kata dia, sebagaimana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pulau Gag seharusnya terbebas dari aktivitas tambang kendati tidak termasuk kawasan geopark. "Yang lebih membingungkan, wilayah konsesi di sana 13 ribu hektare, sedangkan luas Pulau Gag hanya 6.000 hektare," ujarnya.
Greenpeace dan Aliansi Jaga Alam Raja Ampat akan terus mendesak pemerintah mencabut IUP PT Gag Nikel sebagai komitmen dalam mematuhi ketentuan aturan perundang-undangan. "Kalau aktivitas terus berlanjut, terumbu karang bisa rusak karena kapal tongkang pengangkut hasil tambang yang menuju Teluk Weda akan melintasi kawasan konservasi," katanya.
Sementara itu, Direktur Operasi PT Gag Nikel Arya Arditya Kurnia mengatakan perusahaannya mengikuti aturan dan akan tetap mengutamakan aspek lingkungan. Perusahaan itu mengantongi izin resmi untuk melanjutkan pertambangan di Raja Ampat.
Dalam paparannya, Arya menjelaskan, sejak resmi berproduksi pada 2018, PT Gag Nikel mengantongi amdal resmi dan diawasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pelaksana Tugas Presiden Direktur PT Gag Nikel itu juga menyatakan perusahaannya menerapkan program reklamasi dengan menanam puluhan ribu bibit tanaman endemik di lebih dari 130 hektare lahan bekas tambang.
Perusahaan, kata dia, juga memantau kualitas air dan keanekaragaman hayati secara berkala. "Atas dasar izin itu, kami sampaikan kepada para karyawan dan stakeholder bahwa kami tetap mengatur kondisi operasional sesuai dengan arahan Direktur Jenderal Minerba dan mengutamakan kondisi lingkungan," ucapnya di Jakarta, Selasa, 10 Juni 2025.
Direktur Utama Antam Nico Kanter menegaskan, sebagai pemegang saham PT Gag Nikel, perseroan akan terus mengawasi dan memastikan pengelolaan operasi dilakukan sesuai dengan good mining practice. "Kami juga melakukan upaya-upaya perbaikan pengelolaan operasi dan lingkungan di semua wilayah operasi, termasuk PT Gag Nikel, dengan memastikan penerapan standar-standar internasional di seluruh lini bisnis," tuturnya.
Dalam kesempatan terpisah, dosen hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan tak dicabutnya IUP milik PT Gag Nikel merupakan tindakan pengabaian pemerintah terhadap aturan perundang-undangan. Ia mengingatkan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 melarang aktivitas penambangan di pulau kecil. "Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 juga mempertegas hal itu. Seharusnya aturan ini menjadi rujukan," katanya.
Dosen hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menyampaikan hal yang sama. "Bukan alasan penghiliran dan amdalnya yang menurut mereka bagus. Tapi kepatuhan kepada hukum seharusnya menjadi hal utama," ujarnya.
Tempo belum mendapatkan penjelasan terbaru dari Bahlil Lahadalia. Ia sudah dihubungi dan dikirimi pertanyaan melalui aplikasi perpesanan. Namun dia belum merespons. Setelah memaparkan temuan ihwal penambangan nikel di Raja Ampat di Istana Kepresidenan pun, mantan Menteri Investasi itu langsung bergegas memasuki kendaraan yang ditumpanginya. ●
0 Komentar