Karya Adiluhung Go Tik Swan Wujudkan Gagasan Batik Presiden Soekarno
Lifestyle
24 Januari 2020, 17:43:02 WIB

Hardjosoewarno (kiri) dan Supiyah Anggriyani berdiri di antara lukisan foto Go Tik Swan. (Angger Bondan/Jawa Pos)
Semasa hidupnya, Go Tik Swan, priayi Tionghoa di Solo, dikenal sebagai budayawan dan sastrawan. Hingga kemudian Presiden Pertama RI Soekarno menyarankan untuk menciptakan batik Indonesia. Go Tik Swan pun mewujudkannya.
—
"GO Tik Swan adalah keturunan Tionghoa. Namun, dia lebih Jawa dari orang Jawa sendiri. Pintar sastra Jawa, budaya Jawa, penari, pembatik, hingga ahli membuat keris," jelas Hardjosoewarno, 70, anak angkat Go Tik Swan, ketika ditemui Jumat (17/1) di Jalan Yos Sudarso, Solo. Kediamannya sekaligus tempat produksi batiknya.
Sejak kecil Go akrab dengan batik karena kakek-neneknya punya tempat pembatikan. Itu adalah usaha turun-temurun. Bahkan hingga sekarang. Kecintaan Go pada budaya Jawa memukau hati Presiden Pertama RI Soekarno. Sampai-sampai Bung Karno memberinya gagasan untuk membuat batik Indonesia pada 1955. Batik itu merupakan simbol pemersatu yang memadukan keberagaman motif batik di tanah air.
Produksi batik Indonesia masih bertahan hingga kini. Bersama istri, Supiyah Anggriyani, Hardjo meneruskan karya batik yang adiluhung itu. "Go Tik Swan itu sang empu kesayangan Soekarno," katanya. "Ada peninggalan lukisan Bung Karno di rumah," tambahnya.
Go berhasil menggali pola-pola batik di beberapa perajin daerah yang ditemui. Pada akhirnya, dia menemukan perpaduan karakter keraton dan pesisir. "Kalau batik keraton, seperti Solo dan Jogja, warna cenderung gelap. Cokelat hitam. Sedangkan pesisir lebih berwarna cerah," jelasnya.
Dia mencontohkan batik Parang Sawunggaling. Motif Parang dimaknai sebagai simbol matahari yang melambangkan kehidupan. Motif itu biasa dipakai keluarga keraton. Sementara itu, Sawungguling diambil dari daerah pesisir Bali. "Menggambarkan tradisi sabung ayam," terangnya.


Endang mengerjakan batik Parang Kukilo di Ndalem Hardjonagaran. (Angger Bondan/Jawa Pos)
Di Bali, tradisi sabung ayam sering dilakukan menjelang musim tanam. Tujuannya, darah yang menetes ke bumi akan membawa kemakmuran dan limpahan rezeki. Perpaduan motif Parang dan Sawuggaling itu menghasilkan batik yang mewah. "Banyak orang yang cari. Motif bermutu tinggi dan warna yang dihasilkan bagus. Ada gelap dan cerah," jelasnya.
Seiring berjalannya waktu, Go Tik Swan atau dikenal dengan nama KRT Hardjonagoro diangkat menjadi bupati anom Keraton Surakarta pada 1984. Dia mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT). Karena dedikasinya sangat tinggi terhadap budaya Jawa, gelar yang didapat semakin meningkat. Kini dikenal dengan Panembahan Hardjonagoro. "Itu gelar tertinggi dalam sejarah Jawa," ucapnya.
Sebagai generasi keempat, Hardjo dan Supiyah mempertahankan warisan batik Go Tik Swan. Mereka berdua terus memproduksi batik tersebut. Selembar kain bisa dihasilkan dalam kurun waktu 6–9 bulan. Lama. Tetapi, setiap karya menjadi buruan para pencinta dan kolektor batik. "Biasanya untuk koleksi karena bernilai tinggi," ungkap Supiyah.
Dia mengingat pesan Go Tik Swan bahwa kalau sudah sukses, harus tetap rendah diri. Dan, jangan lupa asal. "Ojo malih," begitu pesannya. Hardjo menambahkan, setiap anugerah Tuhan wajib disyukuri. Tidak boleh terlalu ngoyo. Ibarat orang memikul beban, kuatnya hanya 10 kilogram, tapi membawa paksa beban 20 kilogram. "Kudu nerimo ing panggih," imbuhnya.
Trivia Batik Go Tik Swan
Lifestyle
24 Januari 2020, 17:43:02 WIB

Hardjosoewarno (kiri) dan Supiyah Anggriyani berdiri di antara lukisan foto Go Tik Swan. (Angger Bondan/Jawa Pos)
Semasa hidupnya, Go Tik Swan, priayi Tionghoa di Solo, dikenal sebagai budayawan dan sastrawan. Hingga kemudian Presiden Pertama RI Soekarno menyarankan untuk menciptakan batik Indonesia. Go Tik Swan pun mewujudkannya.
—
"GO Tik Swan adalah keturunan Tionghoa. Namun, dia lebih Jawa dari orang Jawa sendiri. Pintar sastra Jawa, budaya Jawa, penari, pembatik, hingga ahli membuat keris," jelas Hardjosoewarno, 70, anak angkat Go Tik Swan, ketika ditemui Jumat (17/1) di Jalan Yos Sudarso, Solo. Kediamannya sekaligus tempat produksi batiknya.
Sejak kecil Go akrab dengan batik karena kakek-neneknya punya tempat pembatikan. Itu adalah usaha turun-temurun. Bahkan hingga sekarang. Kecintaan Go pada budaya Jawa memukau hati Presiden Pertama RI Soekarno. Sampai-sampai Bung Karno memberinya gagasan untuk membuat batik Indonesia pada 1955. Batik itu merupakan simbol pemersatu yang memadukan keberagaman motif batik di tanah air.
Produksi batik Indonesia masih bertahan hingga kini. Bersama istri, Supiyah Anggriyani, Hardjo meneruskan karya batik yang adiluhung itu. "Go Tik Swan itu sang empu kesayangan Soekarno," katanya. "Ada peninggalan lukisan Bung Karno di rumah," tambahnya.
Go berhasil menggali pola-pola batik di beberapa perajin daerah yang ditemui. Pada akhirnya, dia menemukan perpaduan karakter keraton dan pesisir. "Kalau batik keraton, seperti Solo dan Jogja, warna cenderung gelap. Cokelat hitam. Sedangkan pesisir lebih berwarna cerah," jelasnya.
Dia mencontohkan batik Parang Sawunggaling. Motif Parang dimaknai sebagai simbol matahari yang melambangkan kehidupan. Motif itu biasa dipakai keluarga keraton. Sementara itu, Sawungguling diambil dari daerah pesisir Bali. "Menggambarkan tradisi sabung ayam," terangnya.

Endang mengerjakan batik Parang Kukilo di Ndalem Hardjonagaran. (Angger Bondan/Jawa Pos)
Di Bali, tradisi sabung ayam sering dilakukan menjelang musim tanam. Tujuannya, darah yang menetes ke bumi akan membawa kemakmuran dan limpahan rezeki. Perpaduan motif Parang dan Sawuggaling itu menghasilkan batik yang mewah. "Banyak orang yang cari. Motif bermutu tinggi dan warna yang dihasilkan bagus. Ada gelap dan cerah," jelasnya.
Seiring berjalannya waktu, Go Tik Swan atau dikenal dengan nama KRT Hardjonagoro diangkat menjadi bupati anom Keraton Surakarta pada 1984. Dia mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT). Karena dedikasinya sangat tinggi terhadap budaya Jawa, gelar yang didapat semakin meningkat. Kini dikenal dengan Panembahan Hardjonagoro. "Itu gelar tertinggi dalam sejarah Jawa," ucapnya.
Sebagai generasi keempat, Hardjo dan Supiyah mempertahankan warisan batik Go Tik Swan. Mereka berdua terus memproduksi batik tersebut. Selembar kain bisa dihasilkan dalam kurun waktu 6–9 bulan. Lama. Tetapi, setiap karya menjadi buruan para pencinta dan kolektor batik. "Biasanya untuk koleksi karena bernilai tinggi," ungkap Supiyah.
Dia mengingat pesan Go Tik Swan bahwa kalau sudah sukses, harus tetap rendah diri. Dan, jangan lupa asal. "Ojo malih," begitu pesannya. Hardjo menambahkan, setiap anugerah Tuhan wajib disyukuri. Tidak boleh terlalu ngoyo. Ibarat orang memikul beban, kuatnya hanya 10 kilogram, tapi membawa paksa beban 20 kilogram. "Kudu nerimo ing panggih," imbuhnya.
Trivia Batik Go Tik Swan
- Perpaduan warnanya antara khas Solo (sogan atau cokelat hitam) dan pesisiran.
- Menggabungkan motif tradisi dengan motif daerah pesisir. Misalnya latar cecek dengan gambar Sawunggaling.
- Batiknya kerap dikenakan Presiden Jokowi.
- Go Tik Swan merupakan penerus generasi ketiga.
Editor : Dhimas Ginanjar
Reporter : Robby Kurniawan/c6/jan
Reporter : Robby Kurniawan/c6/jan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar