Pedang Bermata Dua RUU Perampasan Aset
RUU Perampasan Aset Tindak Pidana bisa melahap siapa pun yang tak bisa membuktikan asal-usul kekayaannya. Aturan ini bisa menyelamatkan cuan negara dari kejahatan, tetapi juga bisa disalahgunakan oleh penguasa yang koruptif.
Ilustrasi : Edi Wahyono
Belakangan, tindakan flexing atau pamer kekayaan dari keluarga pejabat menjadi sorotan pelbagai pihak. Dipicu kasus dugaan korupsi yang menyeret eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo, masyarakat mulai memelototi ketidakwajaran gaya hidup keluarga pegawai pelat merah. Kepemilikan harta yang tak sepadan dengan penghasilan mengindikasikan berasal dari hasil korupsi ataupun pencucian uang.
Pemerintah sebenarnya sudah mengetahui dan memiliki data intelijen di bidang keuangan mengenai dugaan pencucian uang. Pada Rabu, 29 Maret 2023, Menko Polhukam Mahfud Md bahkan menyebut data aliran uang tak wajar yang melibatkan pelbagai lembaga.
"Ini Rp 1.492 triliun, hampir Rp 1.500 triliun. Ini TPPU (tindak pidana pencucian uang)," kata Mahfud sambil menunjuk surat yang berisi data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Meski sudah ada Undang-Undang tentang TPPU, penindakan kasus kejahatan dengan motif ekonomi bukanlah hal mudah. Mahfud mengatakan penegak hukum bukan tidak mau melakukan penindakan, tetapi aturan yang ada tidak memudahkan penindakan tersebut.
"Setiap rapat, aparat penegak hukum selalu menyatakan itu sulit. Harus ketemu (unsur) ini dulu. Kalau sudah ketemu, (unsur) ini harus selesai dulu. Itu betul, " katanya.
Menko Polhukam Mahfud Md saat menghadiri rapat dengan pendapat dengan Komisi III DPR RI, Rabu (29/3/2023). Dalam kesempatan itu, Mahfud meminta DPR RI mendukung RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.
Foto : Ari Saputra/detikcom
Kalau saya presiden dan saya punya undang-undang perampasan aset, saya bisa menjadi diktator yang luar biasa. Pedang ini tuh mengerikan.”
Oleh sebab itu, Mahfud mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana segera diselesaikan. Dengan aturan ini, negara memiliki instrumen hukum untuk menindak transaksi-transaksi janggal yang diindikasikan sebagai pencucian uang.
RUU ini menginduk pada hasil konvensi United Nations Convention against Corruption (UNCAC) tahun 2003. Pada 18 April 2006, Indonesia meratifikasinya. Lalu pada 2008, PPATK menginisiasi perancangan draf dengan mengadopsi hasil konvensi UNCAC. Aturan ini diyakini bisa menjadi senjata untuk mengembalikan kerugian negara yang disebabkan oleh kejahatan-kejahatan korupsi, narkotika, terorisme, atau bahkan kejahatan dengan motif ekonomi lainnya.
Salah satu ide penting dalam RUU tersebut adalah konsep non-conviction based asset forfeiture. Ide ini merujuk pada bentuk perampasan aset yang tidak memerlukan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pemilik aset tersebut bersalah. Dengan begitu, aset tersebut dapat dirampas tanpa proses hukum pidana.
Prinsip hukum pembuktian terbalik menjadi bisa dipraktikkan. Beban pembuktian ada di pihak yang dituduh memiliki aset dari kejahatan atau tindak pidana.
Menurut Koordinator Kelompok Substansi Humas PPATK M Natsir Kongah, UU Perampasan Aset diperlukan untuk memaksimalkan pengembalian kerugian negara dari tindak kejahatan. Pasalnya, ada banyak aset hasil tindak pidana yang tidak bisa dirampas karena tindak pidana awalnya sulit dibuktikan.
“Upaya asset recovery atas hasil tindak pidana di Indonesia belum optimal. Khususnya perampasan terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya. Termasuk hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia,” kata Natsir kepada reporter detikX pekan lalu.
Natsir mencontohkan, pada 2016, aparat memproses hukum mafia sabu bernama Murtala Ilyas. Murtala memiliki aset Rp 142 miliar yang diduga berasal dari hasil kejahatannya. Dalam prosesnya, harta tersebut pun disita oleh penyidik.
Proses hukum kemudian berlanjut sampai ke Mahkamah Agung dan Murtala dinyatakan terbukti melakukan pencucian uang. Namun aset-aset Murtala yang sebelumnya disita penyidik dikembalikan kepada Murtala.
Kasus semacam Murtala ini sering terjadi. Ini, lanjut Natsir, sangat merugikan negara dari aspek asset recovery. Tidak hanya itu, hal tersebut bahkan membuka peluang pelaku akan mengulangi perbuatannya karena tidak ada efek jera.
Ketua DPP PDIP Bidang Pemenangan Pemilu, Bambang Wuryanto, di Semarang, Selasa (23/3/2021).
Foto : Angling Adhitya Purbaya/detikcom
Butuh Penegak Hukum Berintegritas
Hingga kini draf RUU Perampasan Aset Tindak Pidana belum diserahkan oleh pemerintahan Jokowi ke DPR RI. Tenaga Ahli Bidang Hukum Kantor Staf Presiden Ade Irfan Pulungan mengatakan Jokowi belum bisa mengirimkan surat permohonan pembahasan ke DPR RI mengenai beleid tersebut. Sebab, ada tiga lembaga yang belum memberikan paraf pada draf tersebut, yaitu Kejaksaan Agung, Polri, dan Kementerian Keuangan.
Meski DPR RI belum menerima draf RUU Perampasan Aset, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto sudah menyuarakan kekhawatiran terhadap aturan mengenai perampasan aset. Menurut kader PDI Perjuangan ini, UU Perampasan Aset akan membahayakan demokrasi di Indonesia. Sebab, kata politikus yang akrab dipanggil Pacul itu, penguasa bisa menggunakan aturan ini untuk menghabisi lawan-lawannya.
Sebelumnya, ketika Menko Polhukam Mahfud Md mengusulkan untuk segera mendorong pembahasan dan pengesahan UU Perampasan Aset Tindak Pidana di DPR RI, Pacul mengatakan harus berbicara dengan para ketua umum partai terlebih dahulu. Pacul beralasan, itu karena UU tersebut bisa menjadi alat politik penguasa.
“Kalau saya presiden dan saya punya undang-undang perampasan aset, saya bisa menjadi diktator yang luar biasa. Pedang ini tuh mengerikan,” kata Pacul pekan lalu.
Menurut Pacul, negara kita tidak terbiasa dalam pencatatan harta. Karena itu, jika ditemukan ada harta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan asal-usulnya, harta itu bisa dirampas oleh negara.
“Kenapa saya minta intervensi para ketua umum partai? Karena ini bisa dijadikan alat pemukul bagi pemenang. Siapa pun pemenangnya, itu bisa dipakai untuk menghabisi lawan-lawan politik,” ujarnya.
Menurut pakar hukum TPPU Yenti Garnasih, aturan perampasan aset sangat diperlukan di Indonesia untuk memaksimalkan pengembalian kerugian negara dari tindak pidana dengan motif ekonomi. Namun hal tersebut juga perlu dibarengi dengan integritas para penegak hukum.
“Meskipun nanti ada asset recovery, itu masih berkaitan dengan bagaimana integritas mereka, profesionalitas mereka,” kata Yenti.

Yenti Garnasih saat menjadi panitia seleksi calon pimpinan KPK di Kompleks Istana, Jakarta Pusat, Senin (22/7/2019).
Foto : Rengga Sancaya/detikcom
Mengenai integritas ini, Yenti menyinggung kasus hukum yang melibatkan pejabat Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari. Menurutnya, ada problem dalam pemberian hukuman kepada Pinangki, yang melakukan pencucian uang. Sebab, Pinangki hanya mendekam di penjara selama dua tahun dengan status bebas bersyarat.
Oleh karena itu, integritas para penegak hukum juga menjadi isu serius. Nantinya, ketika ada UU Perampasan Aset Tindak Pidana, pemulihan kerugian negara bisa menjadi tidak maksimal karena tidak adanya integritas itu.
“Jadi, mungkin pembantu-pembantu presiden di bidang hukum seharusnya memberikan masukan betul-betul bahwa asset recovery ini bukan harapan segala-galanya,” kata Yenti.
Reporter: May Rahmadi
Penulis: May Rahmadi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar