Indonesia Berambisi Memiliki Kapal Induk, Pakar Pertahanan Sebut Tak Masuk Akal | Halaman Lengkap

Kapal induk bertenaga nuklir USS Ronald Reagan milik AS. Indonesia berambisi memiliki kapal induk serbaguna untuk TNI-AL. Foto/airpac.navy.mil
- Indonesia berambisi untuk membangun atau memiliki
kapal indukserbaguna yang dioperasikan Angkatan Laut Tentara Nasional Indonesia (TNI-AL). Namun, pakar pertahanan mengkritik ambisi tersebut dengan menyebutnya tidak masuk akal.
Keinginan Indonesia untuk memiliki kapal induk telah disampaikan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Muhammad Ali dalam konferensi pers pada 6 Februari.
"Tampaknya kita membutuhkan kapal induk untuk operasi militer nonperang," katanya saat itu, dengan menyebutkan bantuan kemanusiaan, bantuan bencana, dan keamanan maritim di antara potensi penggunaan platform laut tersebut.
Bagi negara dengan lebih dari 17.000 pulau di tepi selatan salah satu jalur perairan paling diperebutkan di dunia, gagasan tentang kapal induk memang tampak seperti langkah yang berani, bahkan perlu.
Namun, kendala finansial dan masalah strategis akan membayangi ambisi Indonesia tersebut.
Namun para pengamat tetap tidak yakin bahwa kapal induk, yang sering dianggap sebagai permata kekuatan Angkatan Laut, adalah pilihan yang tepat untuk Jakarta.
“Gagasan untuk memperoleh kapal induk khusus untuk operasi non-tempur tidak masuk akal secara strategis dan operasional,” kata Abdul Rahman Yaacob, seorang pakar pertahanan dan keamanan di program Asia Tenggara Lowy Institute.
"Ini adalah platform yang mahal," katanya kepada This Week in Asia, yang dilansir Selasa (25/2/2025).
“Meskipun kapal induk biasanya dilihat sebagai platform senjata ofensif yang digunakan untuk operasi tempur, mereka mampu melaksanakan berbagai jenis misi, dari operasi tempur hingga misi terkait kemanusiaan,” paparnya.
Meskipun kapal induk akan memperluas kemampuan Indonesia untuk memproyeksikan kekuatan di seluruh wilayah maritimnya yang luas, Rahman memperingatkan keterbatasannya.
"Ini mungkin menimbulkan kekhawatiran bagi China, tetapi juga negara-negara Asia Tenggara lainnya," katanya.”Kapal seperti itu tidak akan banyak mengubah permainan atau menghalau China.”
Kekuatan Angkatan Laut China telah berkembang pesat. Menurut Rahman, dengan dua kapal induk aktif, Liaoning dan Shandong, dan yang ketiga menjalani uji coba laut, strategi anti-access/area denial Beijing dapat memusnahkan kapal induk Indonesia jika terjadi konflik.
Strategi anti-access/area denial menggunakan taktik militer canggih untuk mencegah musuh memasuki atau beroperasi di wilayah tertentu.
"Bahkan Angkatan Laut Amerika Serikat, yang jauh lebih berpengalaman dalam mengoperasikan kapal induk, khawatir armada kapal induknya dapat terancam oleh China," kata Rahman.
Hambatan finansial juga menakutkan. Kapal induk modern, seperti kelas Gerald R Ford milik Angkatan Laut AS, menghabiskan biaya lebih dari USD13 miliar. Anggaran pertahanan Indonesia tidak seberapa jika dibandingkan dengan AS, hanya Rp20 triliun (USD1,22 miliar) yang dialokasikan untuk Angkatan Laut pada tahun 2025—kurang dari 15 persen dari keseluruhan anggaran pertahanan.
Rahman mencatat bahwa membeli kapal induk bukan hanya tentang kapal itu sendiri. "Kapal itu tidak beroperasi sendiri. Kapal induk biasanya disertai oleh armada kapal perang dan kapal pasokan lainnya, termasuk kapal selam," katanya.
Ditambah lagi dengan biaya pesawat baru, pelatihan khusus, dan peningkatan infrastruktur, harganya pun melambung tinggi.
Keterbatasan sumber daya Indonesia menggemakan kisah peringatan Thailand, yang membeli kapal induk HTMS Chakri Naruebet pada tahun 1990-an—menjadikannya satu-satunya negara Asia Tenggara yang memilikinya. Namun, keterbatasan anggaran sebagian besar membuat kapal itu hanya berlabuh di pelabuhan.
"Untuk masa mendatang, saya tidak melihat Indonesia memiliki dana untuk memperoleh kapal induk," kata Rahman, menunjuk pada fokus Presiden Prabowo Subianto pada prioritas domestik seperti program makanan gratis khasnya untuk anak sekolah.
Angkatan Laut “Hijau” vs “Biru”
Para kritikus berpendapat bahwa kebutuhan strategis Indonesia lebih baik dipenuhi oleh "Angkatan Laut hijau" yang berfokus pada pertahanan perairan pesisir dan sekitarnya, daripada "Angkatan Laut biru" yang mampu memproyeksikan kekuatan jauh melampaui pantainya.
Sementara negara Angkatan Laut Indonesia telah lama memendam ambisi untuk memiliki kapal induk, namun kelayakannya masih diragukan, menurut Karl Gading Sayudha, seorang analis pertahanan di firma urusan publik Indonesia Kiroyan Partners yang mengkhususkan diri dalam keamanan, pertahanan, dan geopolitik negara ini.
Mungkin bukan kepentingan nasional Indonesia untuk memperluas kekuatan militer. “Kecuali jika Prabowo secara mendasar mengubah kebijakan luar negeri negara tersebut ke arah sikap yang lebih agresif, yang berpotensi menimbulkan konfrontasi langsung dengan kekuatan-kekuatan besar dunia", katanya.
"Itu adalah risiko yang tidak dapat kita tanggung mengingat keadaan angkatan bersenjata kita saat ini,” ujarnya.
Alih-alih berfokus pada kapal induk, analis mengatakan Jakarta harus memprioritaskan investasi pada kapal perang permukaan yang lebih murah seperti fregat dan korvet, kapal selam, dan rudal antikapal seperti sistem BrahMos yang dijual oleh India.
"Memperoleh jumlah yang cukup dan mempertahankan kemampuan operasionalnya akan lebih menghalau China dan aktor-aktor yang bermusuhan daripada kapal induk," kata Rahman.
Kapal Induk Bekas Jadi Solusi?
Indonesia juga menjajaki opsi membeli memiliki kapal induk bekas.
Angkatan Laut, yang dalam beberapa tahun terakhir telah memesan fregat multiguna Eropa dan kapal selam bertenaga baterai Prancis, dilaporkan mengincar kapal induk Giuseppe Garibaldi yang baru saja dipensiunkan dari Italia—serta menyatakan minatnya pada kapal serbu amfibi kelas Mistral Prancis, dan kapal induk yang lebih kecil yang dirancang untuk mengangkut helikopter atau lebih sedikit pesawat.
"Ada kemungkinan bahwa Angkatan Laut sedang menjajaki pembelian kapal induk bekas untuk pengiriman yang lebih cepat," kata Sayudha. Meskipun untuk tujuan non-tempur, dia mengatakan Indonesia dapat beralih ke platform dalam negeri, seperti kapal dok pendaratan kelas Makassar.
Kapal-kapal kelas Makassar telah terbukti efektif, kata Sayudha, mengutip peran mereka dalam misi kemanusiaan baru-baru ini di tengah konflik Gaza, di mana mereka bertugas sebagai rumah sakit terapung di pelabuhan Mesir.
"Dengan momentum saat ini yang bergeser ke arah Angkatan Laut setelah puluhan tahun memprioritaskan Angkatan Darat, mereka [para kepala Angkatan Laut Indonesia] sekarang mungkin melihat ini sebagai kesempatan untuk memperjuangkan ambisi lama mereka sekali lagi," katanya.
Namun untuk saat ini, impian kapal induk Indonesia tetap hanya itu—sebuah impian, terbebani oleh kendala keuangan dan skeptisisme strategis.
(mas)
Komentar
Posting Komentar