Mantan Bos BI Sebut RI Alami Deindustrialisasi, Balik ke Zaman 1971

-
Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah mengungkap tantangan ekonomi RI di tengah masifnya dunia modern. Dalam hal ini, ia mengatakan Indonesia tengah mengalami gejala deindustrialisasi.
Padahal, kata Burhanuddin, persn industri dalam negeri sempat menyentuh level 29% di era kepemimpinan Presiden ke-2 Soeharto, tahun 1996. Bahkan, ia mengatakan Indonesia mampu menjadi negara industri menurut United Nations Industrial Development Organization (UNIDO).
"20% sampai 29% itu industrializing country. Dan kita sudah di ujungnya itu. Tetapi sekarang kita mendapati diri kita tinggal 18%," kata Burhanuddin dalam acara Sarasehan Ulama NU di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (4/2/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Burhanuddin mengatakan, kondisi industri Indonesia mengulang sejarah kelam di tahun 1971 di era kepemimpinan Soeharto. Ia mengaku miris dengan kondisi industri saat ini.
Apalagi, kata Burhanuddin, Indonesia masih menjadi negara importir pada banyak produk luar, khususnya pangan, energi, hingga produk manufaktur. Kondisi menjadi semakin sulit lantaran China memproduksi produk manufaktur hingga 47% dari kebutuhan dunia.
"Dengan adanya kesulitan di dalam negeri China, China juga tidak mengubah policy-nya menjadi, meningkatkan domestik demand, tetapi tetap mengindustrialisasikan industri manufakturnya," jelasnya.
Jadi kalau RI membuat satu barang yang lebih bagus dari China, mungkin harganya akan lebih mahal dari produk impor. Ia mengatakan, kondisi ini menekan industri Indonesia. Meski begitu, ia menilai produk tambang masih menjadi ujung tombak daya saing Indonesia di pasar internasional.
"Pilihan yang sangat tepat dari industrialisasi kita itu, yaitu industrialisasi dari barang-barang tambang, barang galian, natural resources," tutupnya.
(rrd/rrd)
Komentar
Posting Komentar