Dunia Internasional,
Penghinaan AS Terhadap G20 Afrika Selatan Bisa Jadi Hadiah bagi Negara-negara BRICS | Halaman Lengkap

Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Presiden China Xi Jinping, berfoto bersama didampingi para pemimpin negara lainnya saat menghadiri KTT G20 di Rio de Janeiro, Brasil, 18 November 2024. FOTO/Reuters
- Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa sebagai
Ketua G20ingin fokus merombak institusi-institusi global yang dianggap condong ke Barat. Namun, langkah tersebut kini bertentangan dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang mengancam merusak momen bersejarah Afrika Selatan sebagai tuan rumah pertama G20 di Benua Afrika.
Ketegangan ini berawal dari perdebatan publik antara Trump dan Ramaphosa terkait kebijakan domestik Afrika Selatan mengenai undang-undang pengambilalihan tanah, kebijakan kesetaraan, serta Perang Israel di Gaza. Akibatnya, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, memutuskan untuk tidak menghadiri pertemuan para menteri luar negeri G20 di Johannesburg.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, juga mengumumkan bahwa ia akan melewatkan pertemuan menteri keuangan G20 minggu depan untuk lebih fokus pada urusan domestik. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah ketidakhadiran ini bersifat sementara, atau apakah ini adalah langkah awal dari penarikan AS dari G20, di tengah upaya Trump membentuk tatanan dunia baru yang lebih menguntungkan Amerika.
Menurut sejumlah sumber yang enggan disebutkan namanya, Afrika Selatan kemungkinan akan memperkecil peran AS dalam kepresidenannya di G20. Bahkan, ada kemungkinan Trump akan memilih untuk tidak menghadiri pertemuan puncak para pemimpin G20 pada bulan November, yang bisa menjadi cara untuk mempermalukan Ramaphosa.
Meskipun ada perpecahan, Afrika Selatan bertekad untuk terus mencari konsensus di antara negara-negara G20 sebelum November. Negara tersebut berupaya mendukung agenda reformasi multilateral yang lebih inklusif, termasuk di dalamnya perombakan lembaga-lembaga seperti G20 dan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Afrika Selatan berharap negara-negara di Global South dapat memiliki peran yang lebih besar dalam urusan dunia, dan tidak hanya menjadi catatan kaki dalam sistem internasional yang sudah ada.
"Sangat penting bahwa lembaga-lembaga pasca Perang Dunia II ini berevolusi untuk mewakili tatanan global baru di mana suara Global South tidak hanya menjadi catatan kaki, tetapi juga menjadi pusat dari urusan dunia," ungkap juru bicara urusan luar negeri Afrika Selatan, Chrispin Phiri, dalam sebuah pernyataan kepada Bloomberg, dikutip Kamis (20/2/2025).
Ketegangan antara Amerika Serikat dan Afrika Selatan semakin memuncak pada bulan lalu, saat Ramaphosa mengumumkan telah menandatangani undang-undang pengambilalihan tanah. Kebijakan ini memicu protes dari Trump dan penasihatnya, Elon Musk, yang menuduh Afrika Selatan telah merampas tanah dari petani kulit putih.
Sebagai reaksi, Trump membatalkan bantuan kepada negara tersebut dan menawarkan status pengungsi kepada minoritas Afrika yang relatif memiliki hak istimewa di sana.
Langkah AS untuk menarik diri dari sejumlah organisasi internasional, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dewan Hak Asasi Manusia (HAM), dan perjanjian iklim Paris, menambah ketegangan. Keputusan-keputusan ini mencerminkan upaya AS untuk merombak tatanan dunia yang selama ini diatur oleh lembaga-lembaga multilateral yang juga menguntungkan negara tersebut.
Namun, kebijakan AS yang lebih proteksionis ini memberi peluang bagi Afrika Selatan dan negara-negara sekutunya untuk memperjuangkan multilateralisme. Lukhona Mnguni, Direktur Eksekutif Rivonia Circle, lembaga pemikir yang berbasis di Johannesburg, mengatakan bahwa ini adalah kesempatan bagi dunia untuk membuktikan apakah ia bisa bertahan tanpa keterlibatan AS.
Brasil, sebagai negara kelompok BRICS juga menyoroti upaya AS untuk menghancurkan tatanan multilateral melalui kebijakan proteksionisme tarif dan langkah-langkah intimidasi sepihak. Menteri Luar Negeri Brasil, Mauro Vieira, memperingatkan bahwa "hukum yang terkuat adalah hukum yang terkuat," sebuah pernyataan yang menegaskan kekhawatiran negara-negara berkembang mengenai dominasi AS dalam tatanan internasional.
China sebagai anggota BRICS juga menegaskan pentingnya memperkuat multilateralisme. Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, menyerukan agar PBB menjadi lebih kuat setelah pertemuan Dewan Keamanan PBB yang diselenggarakan oleh China, yang membahas masalah multilateralisme. "Tidak ada negara yang bisa berjalan sendiri," tegasnya.
Dengan berkembangnya ketegangan ini, dunia kini menanti langkah selanjutnya dari negara-negara G20 dalam merespons dinamika geopolitik yang terus berkembang.
(nng)
Komentar
Posting Komentar