Dunia Internasional,
AS Larang Impor Seafood dari Kapal China Terkait Dugaan Kerja Paksa | Halaman Lengkap

Amerika Serikat melarang Impor seafood dari kapal China terkait dugaan kerja paksa. Foto/via South China Morning Post
- Dalam langkah signifikan yang menggarisbawahi meningkatnya kekhawatiran atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam rantai pasokan global,
Amerika Serikat(AS) mengambil tindakan tegas terhadap impor makanan laut (
seafood) yang terkait dengan dugaan praktik kerja paksa di atas kapal penangkap ikan
China.Badan Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP) mengumumkan bahwa mereka akan menahan pelepasan makanan laut yang dipanen oleh kapal yang dimaksud, dengan mengutip bukti kredibel tentang perlakuan tidak manusiawi dan kondisi kerja paksa.
Tindakan CBP merupakan bagian dari strategi yang lebih luas oleh AS untuk menekan barang-barang yang diyakini diproduksi melalui kerja paksa—praktik yang melanggar standar ketenagakerjaan internasional dan terus menimbulkan kekhawatiran di masyarakat global.
Baca Juga: AS Larang Impor dari Armada China Pengguna Buruh Kerja Paksa Indonesia
Dengan semakin terungkapnya kerja paksa di industri makanan laut, khususnya di perairan internasional yang pengawasan regulasinya minim, langkah tersebut menyoroti sektor yang penuh dengan tuduhan pelanggaran dan eksploitasi yang sudah berlangsung lama.
Keputusan CBP berasal dari penyelidikan ekstensif terhadap praktik di atas Long Xing 629, sebuah kapal penangkap ikan asal China.
Perintah Penahanan Pelepasan (WRO) CBP menargetkan makanan laut, termasuk ikan tuna, yang bersumber dari kapal tersebut, yang secara efektif melarang impornya ke pasar AS.
Badan tersebut menyatakan bahwa tindakan itu diambil setelah mengungkap beberapa indikator kerja paksa, termasuk penahanan upah, penyalahgunaan kerentanan, dan kekerasan fisik.
“Penggunaan kerja paksa dalam rantai pasokan merupakan masalah moral dan hukum,” ujar pernyataan CBP, dikutip dari Mekong News, Rabu (11/6/2025).
Baca Juga: Jenazah WNI Dalam Frezer di Kapal China Ternyata Tewas Dianiaya
“Perintah ini mencerminkan komitmen kami untuk menegakkan hak asasi manusia dan memastikan bahwa konsumen Amerika tidak secara tidak sadar mendukung praktik perburuhan yang eksploitatif melalui barang yang mereka beli,” sambungnya.
Ini bukan pertama kalinya Long Xing 629 menarik perhatian internasional.
Bukti yang Masuk Akal
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa LSM dan jurnalis investigasi telah mendokumentasikan kisah-kisah mengerikan dari mantan pekerja di atas kapal China.
Banyak dari pekerja ini, yang sering kali berasal dari Asia Tenggara, melaporkan bahwa mereka ditipu perekrut, dipaksa bekerja berjam-jam tanpa istirahat, tidak dibayar, dan, dalam kasus yang ekstrem, mengalami kekerasan fisik. Beberapa bahkan menceritakan bahwa mereka menyaksikan kematian sesama anggota kru yang tidak diberi perawatan medis atau makanan.
Pengoperasian kapal tersebut merupakan lambang dari kekhawatiran yang lebih luas tentang armada penangkapan ikan di perairan jauh (DWF) China, yang merupakan yang terbesar di dunia.
Kapal DWF beroperasi jauh dari perairan teritorial China, sering kali di wilayah laut lepas yang kurang diatur atau di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara berkembang.
Sejumlah kelompok hak asasi manusia dan pengawas maritim telah berulang kali mengkritik praktik lingkungan dan ketenagakerjaan armada tersebut, dengan menunjuk pada pola penangkapan ikan ilegal, perdagangan manusia, dan eksploitasi tenaga kerja.
Meski China telah berulang kali membantah tuduhan tentang pelanggaran sistematis di atas kapal penangkap ikannya, bukti yang semakin banyak telah mendorong beberapa negara untuk mengambil tindakan.
AS, yang memanfaatkan kerangka hukumnya berdasarkan Undang-Undang Tarif tahun 1930, telah muncul sebagai pelopor dalam menargetkan impor yang tercemar oleh kerja paksa.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, CBP berwenang untuk menerbitkan WRO jika ada bukti yang “masuk akal walau tidak konklusif” bahwa barang tersebut dibuat dengan menggunakan kerja paksa. Barang-barang tersebut kemudian dilarang masuk ke AS, kecuali importir dapat membuktikan sebaliknya.
Industri makanan laut, khususnya, telah menjadi titik fokus bagi upaya penegakan hukum CBP.
Dalam beberapa tahun terakhir, lembaga tersebut telah mengeluarkan perintah serupa terhadap perusahaan dan kapal yang berbasis di Taiwan, Malaysia, dan Thailand.
Dugaan Praktik Kerja Paksa
Kerentanan industri terhadap pelanggaran berasal dari tantangan operasionalnya yang unik, yakni pelayaran panjang di daerah terpencil, pengawasan yang buruk, perlindungan tenaga kerja yang terbatas, dan ketergantungan pada buruh migran yang sering kali merasa terisolasi dan tidak berdaya saat berada di laut.
Para pendukung hak-hak buruh dan perdagangan etis menyambut baik langkah terbaru CBP, memujinya sebagai langkah penting dalam memerangi pelanggaran ketenagakerjaan global.
“Kerja paksa dalam industri makanan laut adalah krisis kemanusiaan yang tersembunyi di depan mata,” kata seorang aktivis dari LSM yang berpusat di Washington yang berfokus pada hak-hak buruh.
“Tindakan seperti ini mengirimkan pesan yang jelas kepada perusahaan dan pemerintah bahwa keterlibatan tidak akan ditoleransi,” lanjutnya.
Pasar makanan laut AS adalah salah satu yang terbesar di dunia, dan konsumen Amerika semakin menuntut transparansi dalam praktik pengadaan.
Beberapa analis industri mengatakan bahwa pembatasan impor seperti yang diberlakukan pada Long Xing 629 tidak hanya dibenarkan secara moral tetapi juga dapat mengkatalisasi perbaikan di seluruh sektor.
Dengan menegakkan perintah tersebut, CBP memberikan tekanan pada pemasok asing dan importir domestik untuk mengadopsi praktik uji tuntas yang lebih baik dan memastikan rantai pasokan yang bersih dan etis.
Namun, kompleksitas perdagangan internasional berarti bahwa menegakkan kebijakan tersebut tetap menantang.
Bantahan China
Rantai pasokan global terkenal tidak transparan, terutama di sektor makanan laut, di mana hasil tangkapan sering melewati banyak perantara dan pusat pemrosesan sebelum sampai ke konsumen.
Akibatnya, keterlacakan menjadi perhatian utama. Bahkan ketika importir tidak secara sadar terlibat, mereka mungkin secara tidak sengaja mendapatkan produk yang terkait dengan kerja paksa.
Oleh karena itu, perintah CBP tidak hanya bertindak sebagai tindakan hukuman, tetapi juga sebagai katalisator untuk reformasi sistemik.
Di China, tempat Long Xing 629 terdaftar, tanggapan terhadap tuduhan AS tidak terlalu keras.
Para pejabat China secara konsisten membantah klaim tentang penyalahgunaan tenaga kerja di armada penangkapan ikan mereka di luar negeri, dan sering menggambarkan kritik internasional sebagai bermotif politik.
Meski demikian, ada tekanan internasional yang meningkat pada Beijing untuk meningkatkan standar ketenagakerjaan di atas kapalnya dan menegakkan pengawasan yang lebih baik.
Dampak larangan tersebut kemungkinan akan bergema di luar AS.
Negara-negara lain mungkin akan segera mengikuti, dan pengecer global semakin waspada terhadap kerusakan reputasi akibat hubungan dengan kerja paksa.
Bagi jaringan supermarket besar, distributor makanan, dan grup restoran, pengadaan sumber daya secara etis bukan lagi sekadar masalah tanggung jawab perusahaan—ini telah menjadi kebutuhan hukum.
Standar yang Tak Kenal Kompromi
Sementara itu, para pekerja yang menjadi inti dari masalah ini—yang banyak di antaranya menanggung kesulitan tak terbayangkan di laut lepas—sebagian besar tetap tidak bersuara.
Banyak LSM dan advokat buruh terus menyerukan perlindungan yang lebih besar, peningkatan kerja sama internasional, dan mekanisme dukungan bagi para korban perdagangan manusia dan kerja paksa.
Kisah-kisah mereka, yang kini sampai ke para pembuat kebijakan dan konsumen, berfungsi sebagai pengingat gamblang tentang biaya manusia di balik apa yang berakhir di piring kita.
Dengan mengambil tindakan terhadap Long Xing 629, AS sekali lagi telah menunjukkan niatnya untuk menghadapi sisi gelap industri makanan laut global.
Meski jalan menuju pemberantasan kerja paksa sepenuhnya masih panjang dan penuh dengan tantangan, setiap tindakan yang diambil mengikis impunitas yang telah memungkinkan pelanggaran ini berkembang tanpa terkendali.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran publik dan ketatnya penegakan hukum, harapan tetap ada bahwa menghadirkan produk dari sumber secara etis tidak hanya akan menjadi aspirasi, tetapi juga standar yang tak kenal kompromi dalam perdagangan global.
(mas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar