Indef Nilai Skema PPN Multi Tarif Bisa Rugikan Konsumen
CNN Indonesia
Selasa, 11/05/2021 17:39
Indef memaparkan wacana pemerintah menerapkan skema PPN multi tarif berpotensi merugikan konsumen di tingkat akhir.Ilustrasi pajak. (Pixabay/jarmoluk),
Jakarta, CNN Indonesia --
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan wacana pemerintah menerapkan skema PPN multi tarif berpotensi merugikan konsumen di tingkat akhir.
Pasalnya, penjual barang atau jasa cenderung akan menaikkan harga yang membuat barang atau jasa tersebut dikenakan PPN lebih tinggi dan lebih mahal.
"Multi tarif juga tidak selalu menguntungkan konsumen akhir. Kenapa? Karena penjual cenderung akan menaikkan harga dan pada akhirnya harga tersebut dapat mensubstitusi harga barang yang dikenai PPN dengan tarif yang lebih tinggi," ujarnya dalam webinar bertajuk 'PPN 15 Persen, Perlukah di Masa Pandemi', Selasa (11/5).
Masalah lainnya adalah penerapan administrasi yang jauh lebih rumit ketimbang PPN single tarif.
"Kemudian juga bagaimana soal kita bisa membedakan transaksi yang terjadi antar berbagai kelas tarif PPN tersebut dan bisa memilih mana yang lebih tepat. Karena tentu akan membingungkan pada level konsumen akhir," jelas Tauhid.
Di samping itu, menurut Tauhid, perbedaan tarif yang signifikan pada jenis barang tertentu berpotensi menimbulkan ketidakpuasan di sisi produsen dan konsumen.
"Nah, ini yang saya kira perlu dibicarakan lebih lanjut soal bagaimana rencana multi tarif ini diterapkan," imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan butuh waktu cukup lama jika pemerintah ingin menerapkan skema multi tarif PPN. Sebab, pemerintah perlu merevisi undang-undang PPN yang telah ada saat ini.
"Kalau untuk menerapkan single tarif pemerintah tidak perlu repot-repot, hanya perlu menerbitkan PP saja. Naik langsung berapa persen. Dengan multi tarif setahu saya harus ada revisi UU yang lebih memakan waktu. Kecuali DPR oke-oke saja," tuturnya.
Ia juga menyoroti bagaimana efektivitas PPN multi tarif dalam mendorong penerimaan negara sekaligus menjaga daya beli masyarakat. "Bagaimana efektivitasnya jika terjadi layer yang cukup banyak, bagaimana pengawasannya, tingkat kepatuhannya, akan menjadi PR-PR baru lagi ini bagi pemerintah," tandasnya.
Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah mengkaji rencana kenaikan tarif PPN.
Kepala Subdit (Kasubdit) Humas Direktorat P2P DJP Ani Natalia menuturkan skema pertama adalah tarif tunggal (single tarif). Artinya, hanya ada satu tarif yang berlaku untuk pungutan PPN.
Sementara skema lainnya yang tengah dikaji adalah PPN multi tarif. Ani menjelaskan, lewat skema multi tarif, akan terdapat perbedaan besaran tarif PPN.
Untuk barang-barang dan jasa yang diperlukan orang banyak dan sifatnya kebutuhan, biasanya dikenai tarif PPN yang lebih rendah dibandingkan dengan barang dan jasa yang sifatnya bukan kebutuhan pokok.
Meski belum berlaku di Indonesia, ia menuturkan banyak negara di dunia yang telah menganut sistem PPN multi tarif.
"Terkait PPN multi tarif, juga masih dalam kajian, dan tentunya perubahan tarif dari single tarif ke multi tarif harus melalui perubahan UU tentang PPN," terangnya.
(hrf/age)
CNN Indonesia
Selasa, 11/05/2021 17:39
Indef memaparkan wacana pemerintah menerapkan skema PPN multi tarif berpotensi merugikan konsumen di tingkat akhir.Ilustrasi pajak. (Pixabay/jarmoluk),
Jakarta, CNN Indonesia --
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan wacana pemerintah menerapkan skema PPN multi tarif berpotensi merugikan konsumen di tingkat akhir.
Pasalnya, penjual barang atau jasa cenderung akan menaikkan harga yang membuat barang atau jasa tersebut dikenakan PPN lebih tinggi dan lebih mahal.
"Multi tarif juga tidak selalu menguntungkan konsumen akhir. Kenapa? Karena penjual cenderung akan menaikkan harga dan pada akhirnya harga tersebut dapat mensubstitusi harga barang yang dikenai PPN dengan tarif yang lebih tinggi," ujarnya dalam webinar bertajuk 'PPN 15 Persen, Perlukah di Masa Pandemi', Selasa (11/5).
Masalah lainnya adalah penerapan administrasi yang jauh lebih rumit ketimbang PPN single tarif.
"Kemudian juga bagaimana soal kita bisa membedakan transaksi yang terjadi antar berbagai kelas tarif PPN tersebut dan bisa memilih mana yang lebih tepat. Karena tentu akan membingungkan pada level konsumen akhir," jelas Tauhid.
Di samping itu, menurut Tauhid, perbedaan tarif yang signifikan pada jenis barang tertentu berpotensi menimbulkan ketidakpuasan di sisi produsen dan konsumen.
"Nah, ini yang saya kira perlu dibicarakan lebih lanjut soal bagaimana rencana multi tarif ini diterapkan," imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan butuh waktu cukup lama jika pemerintah ingin menerapkan skema multi tarif PPN. Sebab, pemerintah perlu merevisi undang-undang PPN yang telah ada saat ini.
"Kalau untuk menerapkan single tarif pemerintah tidak perlu repot-repot, hanya perlu menerbitkan PP saja. Naik langsung berapa persen. Dengan multi tarif setahu saya harus ada revisi UU yang lebih memakan waktu. Kecuali DPR oke-oke saja," tuturnya.
Ia juga menyoroti bagaimana efektivitas PPN multi tarif dalam mendorong penerimaan negara sekaligus menjaga daya beli masyarakat. "Bagaimana efektivitasnya jika terjadi layer yang cukup banyak, bagaimana pengawasannya, tingkat kepatuhannya, akan menjadi PR-PR baru lagi ini bagi pemerintah," tandasnya.
Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah mengkaji rencana kenaikan tarif PPN.
Kepala Subdit (Kasubdit) Humas Direktorat P2P DJP Ani Natalia menuturkan skema pertama adalah tarif tunggal (single tarif). Artinya, hanya ada satu tarif yang berlaku untuk pungutan PPN.
Sementara skema lainnya yang tengah dikaji adalah PPN multi tarif. Ani menjelaskan, lewat skema multi tarif, akan terdapat perbedaan besaran tarif PPN.
Untuk barang-barang dan jasa yang diperlukan orang banyak dan sifatnya kebutuhan, biasanya dikenai tarif PPN yang lebih rendah dibandingkan dengan barang dan jasa yang sifatnya bukan kebutuhan pokok.
Meski belum berlaku di Indonesia, ia menuturkan banyak negara di dunia yang telah menganut sistem PPN multi tarif.
"Terkait PPN multi tarif, juga masih dalam kajian, dan tentunya perubahan tarif dari single tarif ke multi tarif harus melalui perubahan UU tentang PPN," terangnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar