Eropa Bisa Menyesal 7 Turunan karena Ganggu Kakao & Kopi RI - CNBC Indonesia

 

Eropa Bisa Menyesal 7 Turunan karena Ganggu Kakao & Kopi RI

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
Research
02 August 2023 14:20
Buah Kopi Takengon Aceh sampai ke Amerika Serikat, Ini Buah Pemberdayaan UMKM BRI
Foto: Dok BRI
  • Indonesia sedang menghadapi tantangan berat dari sisi perdagangan Internasional karena hadangan Uni Eropa
  • Ada tujuh komoditas yang berpotensi kena jegal dan tidak bisa masuk ke pasar Uni Eropa.
  • Larangan Eropa akan berdampak besar terhadap industri mereka

Jakarta, CNBC Indonesia - Tantangan berat dari sisi perdagangan internasional sedang menghampiri Indonesia. Pasalnya, beberapa komoditas andalan Indonesia kena jegal masuk ke Uni Eropa (UE) pasca UU produk bebas deforestasi disetujui oleh Komisi UE.

Begitu diadaptasi dan diimplementasikan, UU ini akan menutup rantai pasok yang masuk ke kawasan itu dari produk-produk yang dianggap menyumbang deforestasi dan degradasi lahan.

Ini merupakan bagian dari rangkaian kebijakan Uni Eropa yang dikemas dalam The European Green Deal (EGD).
Dengan target mencapai netralitas karbon apa tahun 2050 dan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 55% pada tahun 2030. UU ini akan menutup rantai pasok yang masuk ke kawasan itu dari produk-produk yang dianggap menyumbang deforestasi dan degradasi lahan.

Seperti diketahui, EUDR mulai diberlakukan pada medio Mei 2023 lalu. Dan dijadwalkan entry into force pada akhir tahun 2024 nanti. Aturan EUDR itu aturan diskriminatif, sehingga Indonesia akan melakukan perlawanan dengan melakukan perundingan.

Melansir dari White and Case, Peraturan Deforestasi UE ini mengamanatkan uji tuntas ekstensif pada rantai nilai untuk semua operator dan pedagang yang berurusan dengan produk tertentu yang berasal dari ternak, kakao, kopi, kelapa sawit, karet, kedelai, dan kayu.

Maka dari itu, sudah jelas bahwa produk yang ditargetkan harus bebas deforestasi! Aturan baru tersebut juga mensyaratkan ada tujuh komoditas dan produk tertentu tertentu yang dibuat darinya2 agar "bebas deforestasi" agar dapat dijual di pasar UE atau diekspor darinya.

Artinya, tidak ada satupun dari tujuh komoditas ini yang bisa masuk ke pasar UE jika pengertian deforestasi yang diadopsi adalah vesri US dan AS bukan deforestasi versi Indonesia. Berikut rinciannya.

Ketujuh produk ini ditekankan syarat agar produk yang ditargetkan harus bebas deforestasi untuk dapat dijual di pasar UE atau diekspor darinya. Selain itu, barang yang relevan juga harus tercakup dalam pernyataan uji tuntas dan diproduksi sesuai dengan undang-undang setempat yang berlaku.

'Senjata Makan Tuan' Bagi Eropa Sendiri

Bak senjata makan tuan, Uni Eropa dinilai bakal terdampak dari kebijakan yang Ia buat sendiri. Pasalnya, Uni Eropa mengkonsumsi produk yang dilarangnya.
Sudah bukan rahasia bahwa masyarakat Eropa sangat menyukai cokelat, baik dalam bentuk padat maupun dalam sajian minuman hangat.

Eropa ini importir biji kakao terbesar di dunia, dengan menguasai sekitar 56% nilai impor secara global. Sebagai perbandingan, Amerika Utara dan Amerika Latin hanya menyumbang sekitar 17% dari impor biji kakao global, sementara benua Asia sebesar 26%.

Foto: CNN Indonesia/Timothy Loen
Kakao

Di tahun 2022, nilai impor kakao Uni Eropa tercatat mencapai senilai UU$ 7,41 miliar. Meski menurun dibanding tahun sebelumnya, namun angka ini tetap yang paling besar dari negara-negara lain. Tingginya tingkat konsumsi cokelat di kalangan rakyat Eropa tentu jadi daya tarik sendiri bagi produsen dan eksportir kakao Indonesia.

Menariknya, mayoritas justru impor dari berbagai negara. Salah satu pemasok terbesar produk cokelat Uni Eropa adalah Indonesia.

Industri pengolahan kakao ada di Indonesia semua. Pabrik cokelat di dunia yang besar ada di Indonesia, Mars, Cargill, Nestle ada di Indonesia. Kalau mereka terdampak ya mereka sendiri.

Kakao Indonesia merupakan salah satu komoditas yang cukup signifikan. Posisi puncak perkebunan kakap Indonesia sudah gencar dilaksanakan Gernas Kakao sebelum tahun 2010-an di ana produksi kakao di Indonesia berkisar 710 ribu ton per tahun dan menempati peringkat ketiga dunia.

Berdasarkan data BPS, produksi kakao di Indonesia sebanyak 667.300 ton pada 2022. Jumlah tersebut lebih rendah 3,04% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 688.200 ton.

Melihat trennya, produksi komoditas yang menjadi bahan baku cokelat tersebut mengalami tren menurun sejak 2019 hingga saat ini. Kondisi itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya pohon kakao yang sudah tua, sehingga tak lagi produktif.
Adapun, Sulawesi Tengah menjadi provinsi yang paling banyak memproduksi kakao. Jumlahnya tercatat sebanyak 126.000 ton sepanjang tahun lalu.

Ketua Asosiasi Petani Kakao Arif Zamroni mengatakan Undang-Undang Anti Deforestasi yang digagas Uni Eropa disebut salah sasaran, terutama untuk produk kakao. Dia mengatakan beberapa komoditas yang menjadi perhatian dalam regulasi tersebut perlu dikaji ulang.

Aturan ini juga bisa berdampak pada industri kakao di Indonesia yang pabriknya juga dimiliki oleh investor asal Eropa dan produk yang telah mendunia.

"Kalau itu (pabrik) ditutup total, bukan hanya Indonesia, Eropa juga akan guncang. Artinya ini jangan-jangan kebijakan ini tidak didesain sedetail itu, jangan-jangan kebijakan ini tidak didesain sedetail itu. Jangan-jangan mereka mereka loose dampak itu," ujar Arif dalam dalam FoodAgri Insight On Location dengan tema "Melawan UU Anti-Deforestasi Uni Eropa", Selasa (1/8/2023).

Selain itu, Indonesia akan kehilangan komoditas strategis kakao yang hilirnya kini telah tumbuh di Indonesia. Eropa salah sasaran jika mengincar kakao sebagai salah satu komoditas deforestasi. Kakao ini merupakan salah satu produk yang paling banyak dikonsumsi Uni Eropa adalah cokelat atau kakao.

Menariknya, produk cokelat Uni Eropa mayoritas justru impor dari berbagai negara. Salah satu pemasok terbesar produk cokelat Uni Eropa adalah Indonesia.

BPS mencatat, ekspor kakao Indonesia mencapai angka 385.981 ton dengan nilai US$1,26 miliar pada 2022. Angka ini naik 0,85% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 382.712 ton dengan nilai US$1,21 miliar.

Melihat trennya, ekspor komoditas dengan kode HS 18 tersebut berfluktuasi cenderung stabil dalam satu dekade terakhir. Ekspor kakao dan produk olahannya di Indonesia paling banyak terjadi pada 2013 yang mencapai 414.087 ton dengan nilai US$1,15 miliar.

Berdasarkan wilayahnya, Indonesia melakukan ekspor kakao dan produk olahannya ke 103 negara pada tahun lalu.Sementara, India menjadi negara tujuan utama ekspor kakao dengan volume 68.386,49 ton dan nilai US$211,47 juta.

Dengan potensi yang dimiliki oleh Indonesia ini, ditambah dengan perusahaan UE yang banyak berdiri di Indonesia ini bakal menjadi boomerang bagi UE.
Pasalnya, idustri olahan kakao di Indonesia justru didominasi pelaku usaha dari Uni Eropa dan diekspor ke Uni Eropa.

Dampak Signifikan Bagi Kopi Indonesia

Dari sisi komoditas kopi, tentu ini juga punya dampak signifikan. Bagaimana tidak, para eksportir kopi di Indonesia kecewa dengan sikap Uni Eropa yang memberlakukan EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) atau Undang Undang Anti Deforestasi.
Kebijakan ini berdampak buruk terutama ke petani Indonesia.

Kopi Indonesia 98% dari petani kopi. Dengan adanya UU ini menyebabkan ketidakpastian bagi petani atas penjualan produknya dan ini tentu menjadi masalah yang berat bagi petani kopi sendiri.

Para eksportir kopi di Indonesia kecewa dengan sikap Uni Eropa yang memberlakukan EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) atau Undang Undang Anti Deforestasi. Kebijakan ini berdampak buruk terutama ke petani Indonesia.

Maka, dengan adanya UU Anti Deforestasi, Uni Eropa akan selektif mengimpor kopi dari Indonesia. Misalnya kopi Indonesia harus memiliki sertifikat khusus yang menegaskan bukan ditanam di lahan hutan.

Ini akan jadi problem berat, apalagi tingkat pendidikan mereka tidak terlalu tinggi.
Dengan adanya UU ini sertifikasi biaya siapa yang menanggung, ini menjadi masalah tidak mungkin ke petani kecil yang punya luas lahan tidak hampir 1 hektare dengan produksi 1 ton kopi robusta.

Untuk diketahui, kopi Indonesia merupakan salah satu komoditas ekspor hasil perkebunan yang paling diminati di dunia.Ekspor kopi Indonesia ke mancanegara pada tahun 2022 mencapai US$ 1,15 miliar. Salah satu tujuannya yakni negara-negara di Eropa.

Dari sisi produksi, Melansir dari laporan Statistik Indonesia 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS),produksi kopi Indonesia mencapai 794,8 ribu ton pada 2022, meningkat sekitar 1,1% dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Volume produksi kopi nasional juga konsisten meningkat tiap tahun sejak 2020, seperti terlihat pada grafik.
Pada 2022 Sumatra Selatan menjadi provinsi penghasil kopi terbesar, yakni 212,4 ribu ton atau 26,72% dari total produksi kopi nasional.Selanjutnya ada Lampung dengan produksi kopi 124,5 ribu ton, Sumatra Utara 87 ribu ton, dan Aceh 75,3 ribu ton.

Untuk itu, ekosistem kopi Indonesia bakal terganggu karena akan mengeluarkan biaya (cost) yang tidak sedikit. Untuk itu, para eksportir kopi Indonesia sepakat untuk mengirim kopi-kopi Indonesia tidak lagi ke Uni Eropa tetapi ke kawasan Timur Tengah.

Ketua Departemen Specialty & Industri BPP Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Moelyono Soesilo menduga ada agenda tersembunyi di balik langkah Uni Eropa memberlakukan EUDR. Sebab, UU itu akan berdampak besar bagi rantai pasok kopi di pasar global.

Sebagaimana diketahui, Kopi kita punya harga premium dibanding negara lain. Ini bisa jadi senjata mereka untuk menekan harga kopi di Indonesia. Karena itu, salah satu cara yang digunakan adalah membedakan kopi yang tersertifikasi dan yang bersertifikasi.

Sawit Indonesia

Sebagai minyak nabati yang paling banyak diproduksi di dunia, pertumbuhan minyak sawit dituding merupakan hasil dari deforestasi. Indonesia dan negara produsen minyak sawit lainnya juga dituntut untuk bertanggung jawab atas deforestasi yang terjadi di dunia akibat pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Kebijakan ini akan berdampak pada sekitar 15-17 juta perkebunan Indonesia. Untuk itu pemerintah Indonesia dan Malaysia melakukan misi bersama (joint mission) dan akan melakukan dialog dengan EU agar kebijakan itu tidak diskriminatif.

UU Antideforestasi Uni Eropa itu akan menghantam jutaan petani kecil di Indonesia. Sebab, UU ini mewajibkan uji tuntas, yang menyangkut sejumlah kategori terkait benchmarking risiko tinggi(high risk country).

Seperti diketahui, EUDR mewajibkan penerapan geolocation plot lahan kelapa sawit dan country benchmarking system yang akan membagi negara dalam 3 kategori yakni high risk, standard dan low risk.

Ini tentu akan menyulitkan petani. Karena untuk yang 4 hektare (ha) lebih, harus menerapkan geolokasi. Bukan hanya petani, perusahaan juga demikian. Padahal kalau buah tidak tertampung, ini justru bakal menimbulkan gejolak. Akibatnya komoditas ini tidak lagi mengentaskan kemiskinan, tapi menambah kemiskinan.

Sebagaimana diketahui, bahwa komoditas sawit ini merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia. Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Di mana menurut CPOPC, Indonesia berkontribusi 56% terhadap produksi sawit dunia, disusul Malaysia dengan 20%.

Untuk diketahui, Indonesia memproduksi kelapa sawit sebanyak 45,58 juta ton pada 2022. Jumlah tersebut meningkat 1,02% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 45,12 juta ton.

Berdasarkan data BPS, nilai ekspor CPO mencapai US$29,62 miliar pada 2022. Angka ini naik 3,56% dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), sekaligus menjadi rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir.

Berdasarkan data di atas, lihat saja nilai ekspor CPO Indonesia juga tercatat konsisten meningkat sejak 2020, meskipun volume ekspornya terus menurun dalam tiga tahun terakhir. Pada 2022 volume ekspor CPO Indonesia turun 28,5% (yoy) menjadi26,22 juta ton.Padahal pada 2019, volume ekspornya sempat mencapai angka 29,54 juta ton.

Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, pekebun rakyat mengusahakan sekitar 41% lahan sawit nasional dan berkontribusi sekitar 33% terhadap produksi nasional. Data tersebut mengacu statistik tahun 2020.

Hanya saja, produktivitas kebun petani sawit rakyat masih lebih rendah dibandingkan produktivitas kebun sawit perusahaan swasta. Yakni sekitar 3 ton per ha berbanding dengan 6 ton per ha setara CPO.

Maka dari itu, Kebijakan yang dikemas dengan isu perlindungan lingkungan itu tentu akan merugikan jutaan petani kecil di Tanah Air.
UU itu, berpotensi diskriminatif, terutama dalam menentukan kelompok negara yang dianggap berisiko tinggi (high risk). Yang bisa berujung produk-produk dari komoditas itu masuk daftar hitam (black list).

Padahal, Indonesia dan Uni Eropa punya potensi pasar yang cukup besar. Hal ini harusnya bisa diselesaikan yang menguntungkan kedua belah pihak. Indonesia tidak pernah melarang masuk produk Uni Eropa. Misalnya produk wine, alkohol, hingga pesawat tempur masuk dengan bebas dan produknya digunakan oleh masyarakat Indonesia.

Untuk peride Januari-Mei 2023 nilai ekspor Nonmigas Indonesia ke Uni Eropa mencapai US$ 7.440,8 juta selain itu ekspor ke Jerman dan Belanda masing-masing di angka US$ 1.257,6 juta dan 1525 juta.
Sementara ke Italia sebesar US$ 1.066 juta dan negara UE lainnya tercatat di angka us$ 3.704,9 juta.

Kalau dilihat sejarahnya, negara maju seperti Uni Eropa kerap memberlakukan kebijakan yang pada ujungnya adalah cara-cara proteksionisme perdagangan.
Yang dikemas dengan alasan sebagai upaya menjaga lingkungan. Hal ini, menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi, termasuk Indonesia.

Mengingat potensi dampak negatif (EUDR) terhadap ekspor Indonesia, ini menarik perhatian Kementerian Perdagangan (Kemendag). Karena ini menyangkut produk-produk kita semua, termasuk ternak, kopi, kakao, minyak sawit, dan produk turunannya.

Kebijakan anti-deforestasi ini berpotensi menghambat perdagangan dan merugikan petani kita. Meliputi hampir 8 juta petani kecil di Indonesia.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Baca Juga

Komentar