Koalisi Sipil: Penegak Hukum dan TNI Perlu Dibenahi, Bukan Ditambah Kewenangannya - detik

 

Koalisi Sipil: Penegak Hukum dan TNI Perlu Dibenahi, Bukan Ditambah Kewenangannya

Jakarta 

-

Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik wacana penambahan kewenangan penegak hukum dan TNI berdasarkan sejumlah draf RUU yang sudah dibahas di DPR. Koalisi sipil menilai perlunya ada pembenahan penegak hukum dan TNI, bukan penambahan kewenangan.

Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute dan BEM SI Kerakyatan. Mereka menilai RUU tersebut mengandung beberapa pasal yang kontroversial. Penegak hukum yang dimaksud adalah Polri dan Kejaksaan Agung.

"Dalam draf RUU Polri yang ditolak pada periode legislasi sebelumnya juga bermaksud menambah kewenangan lembaga tersebut, yaitu kewenangan melakukan pemblokiran terhadap konten digital yang dianggap membahayakan kepentingan nasional. Kewenangan dan tugas ini sebenarnya telah ada di kementerian terkait (Kominfo), dan dilakukan ketika ada keputusan hukum atau permintaan penyidik bahwa sebuah situs telah melanggar hukum," kata Sekjen PBHI Julius Ibrani dalam keterangan tertulis, Minggu (9/2/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam draf RUU TNI yang beredar tahun lalu, katanya terdapat usulan pasal yang memperluas kewenangan TNI menjadi lembaga penegak hukum. Pasal 8 huruf b dalam DIM RUU tersebut menyebutkan bahwa 'Angkatan Darat bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional'.

"Hal ini tidak hanya bertentangan dengan Konstitusi dan raison de'etre TNI, tetapi dapat merusak sistem penegakan hukum (criminal justice system) di Indonesia. Draft RUU TNI itu juga ingin memperluas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota militer aktif. Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan dalam draft tersebut justru memundurkan kembali agenda reformasi TNI dan mengembalikan Dwifungsi ABRI," katanya.

Kemudian, mereka mencatat bahwa DPR juga memasukkan revisi UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI ke dalam Prolegnas 2025, dengan salah satu alasannya untuk menindaklanjuti Putusan MK Nomor 20/PUU-XXI/2023 yang menganulir kewenangan Kejaksaan untuk mengajukan PK. Bila mengacu pada RUU yang beredar saat ini, katanya, revisi tersebut justru diarahkan untuk memperluas kewenangan Kejaksaan dan sekaligus juga tumpang tindih dengan kewenangan instansi lainnya.

"Serta berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Salah satu yang sangat riskan, RUU Kejaksaan memperkuat imunitas jaksa yang dijustifikasi UU dengan dalih perlindungan kepada jaksa," katanya.

"Situasi-situasi sebagaimana disebutkan di atas, tentu seharusnya menjadi perhatian DPR dan para pengambil kebijakan. Harus diakui bahwa situasi penegakan hukum saat ini perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan. Namun, pertanyaannya di tengah kondisi yang demikian apakah pantas lembaga-lembaga tersebut meminta penambahan atau perluasan kewenangan?" tambahnya.

Lebih lanjut, mereka menilai lembaga penegak hukum sekarang saja sudah berulangkali menyalahgunakan kewenangannya sehingga terjadi praktik korupsi, kekerasan dan penyimpangan lainnya. Apalagi, katanya, jika ditambah kewenangan-kewenangan lagi dalam RUU yang mereka ajukan maka akan menjadi jadi potensial penyalahgunaan kewenangannya.

"Apalagi jika mereka di salahgunakan oleh rezim yang berkuasa untuk mempertahankan rezim yang berkuasa maupun untuk kepentingan pemenangan politik dalam pemilu, maka penambahan kewenangan itu dalam beragam RUU yang ada hanya akan menambah kerusakan penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia. Yang kita butuhkan saat ini adalah membangun akuntabilitas dan transparansi (good governance) dengan salah satu cara memperkuat lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasi mereka. Selama ini lembaga independen yang ada (Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPK, dan lain-lain) hanya memiliki kewenangan terbatas, sehingga fungsi pengawasan tidak efektif dan akuntabilitas publik lemah," katanya.

Atas dasar hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar reformasi sistem penegakan hukum ini dapat diarahkan pada dua hal, yaitu:

1. Mengevaluasi sistem pengawasan internal bagi masing-masing lembaga penegak hukum. Pengawasan internal masing-masing lembaga penegak hukum ini dinilai masih cenderung melakukan praktik impunitas atas nama esprit de corps lembaga masing-masing. Pengawasan internal yang lemah tentunya cenderung melonggarkan praktik jahat atau pelanggaran dilakukan oleh masing-masing oknum anggota penegak hukum.

2. Memperkuat pengawasan eksternal terhadap masing-masing lembaga penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran. Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas external ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumberdaya yang cukup.

"Kami memandang bahwa Pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat system pengawasan yang telah ada saat ini untuk menjadi fokus pembenahan penegakan hukum di Indonesia, baik pengawasan internal maupun eksternal," ujarnya.

"Pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian RI, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan dll untuk membantu memastikan penegakan hukum menjadi lebih baik dibandingkan lembaga penegak hukum dan militer berlomba-lomba memperluas kewenangan. Reformasi penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan membangun akuntabilitas dengan memperkuat lembaga pengawas independen. Kami mendesak pada DPR dan pemerintah untuk menghentikan dan menolak pembahasan RUU Polri, RUu Kejaksaan dan RUU TNI," tambahnya.

(azh/knv)

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya 

Artikel populer - Google Berita