Defisit Transaksi Berjalan Diprediksi 1,1 Persen dari PDB
Senin, 20 Februari 2023 | 17:21 WIB
Oleh: Arnoldus Kristianus / FER
Jakarta, Beritasatu.com - Defisit transaksi berjalan Indonesia diprediksi dapat menyentuh sekitar 1,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2023.
Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Faisal Rachman mengatakan, kondisi ketidakpastian global yang tinggi memberikan tantangan bagi sektor eksternal Indonesia di tahun 2023.
"Kami memperkirakan neraca transaksi berjalan Indonesia akan berubah menjadi defisit yang dapat dikelola sekitar 1,1% dari PDB pada tahun 2023,” ucap Faisal Rachman, di Jakarta, Senin (20/2/2023).
Mengutip data Bank Indonesia (BI) Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal IV 2022 mencatat surplus US$ 4,7 miliar, meningkat dibandingkan dengan kinerja kuartal sebelumnya yang tercatat defisit US$ 1,3 miliar.
Menurut dia, kondisi perekonomian global akan mempengaruhi permintaan ekspor sebab terjadi penurunan harga komoditas. Kondisi ekspor akan terpengaruh oleh melemahnya permintaan global di tengah inflasi yang tinggi dan normalisasi kebijakan moneter yang agresif.
Namun surplus neraca perdagangan dapat bertahan lebih lama karena penurunan harga komoditas akan lebih bertahap, berkat pembukaan kembali ekonomi Tiongkok dan kondisi kawasan Euro yang lebih baik dari perkiraan.
Sementara itu, pertumbuhan impor dapat lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor pada tahun 2023 karena permintaan domestik akan terus menguat, menyusul pencabutan PPKM pada akhir tahun 2022 dan keputusan untuk melanjutkan Proyek Strategis Nasional.
“Namun, pertumbuhan impor pada tahun 2023 terlihat melemah dari pertumbuhan tahun 2022 karena harga minyak yang lebih rendah dan antisipasi penurunan ekspor. Sebagian bahan baku untuk memproduksi barang ekspor diperoleh dari impor,” kata Faisal.
Faisal mengatakan meningkatnya ketakutan akan perlambatan ekonomi global dapat memicu sentimen risk-off, terutama di pasar saham. Pembukaan kembali ekonomi Tiongkok, ekonomi terbesar kedua di dunia, juga dapat menarik investor untuk mencari penyeimbangan portofolio di kawasan Asia.
Meskipun sebagian besar bank sentral utama cenderung mempertahankan suku bunga kebijakan global yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama untuk menjinakkan inflasi, dia melihat kenaikan suku bunga mencapai puncaknya pada akhir 2023.
“Ditambah dengan pengelolaan fiskal yang solid dimana defisit fiskal kembali ke bawah 3% PDB lebih cepat dari yang direncanakan, kondisi tersebut dapat mengurangi risiko outflow dan memberikan potensi inflow di pasar obligasi,’ kata Faisal.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
TAG:
[Category Opsiin, Media Informasi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar