Kisah Jenderal TNI Djatikusumo, Anak Raja yang Disebut Mirip Khalid bin Walid - imews - Opsiin

Informasi Pilihanku

demo-image

Post Top Ad

demo-image

Kisah Jenderal TNI Djatikusumo, Anak Raja yang Disebut Mirip Khalid bin Walid - imews

Share This
Responsive Ads Here

 

Kisah Jenderal TNI Djatikusumo, Anak Raja yang Disebut Mirip Khalid bin Walid - Bagian All

JAKARTA, iNews.id - Kisah Jenderal TNI Djatikusumo dibahas dalam artikel ini. Dia merupakan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) pertama yang menjabat selama periode 1948-1949.

Pria bernama lengkap Goesti Pangeran Harjo (GPH) Djatikusumo itu merupakan putra Raja Surakarta, Sri Susuhan Paku Buwono X dan RA Kinorukasi. Ayahnya memerintah pada 29 Desember 1866 sampai 20 Februari 1936.

Berdasarkan informasi Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarhad), Djatikusumo memiliki nama kecil Bendoro Raden Mas Subandono. Semasa kecil, dia diharuskan tinggal bersama keluarga Belanda untuk mengenal perilaku dan pemikiran orang-orang Belanda yang merupakan musuh bangsa Indonesia.

Seperti anak lainnya, Djatikusumo juga bersekolah di Sekolah Dasar atau ELS (Euro Peesche Lagere School) di Bandung dan melanjutkan kembali di Technische Hoge School (THS) Nederland.

Sang ayah meninggal saat Djatikusumo duduk di tingkat tiga pada 20 Februari 1939. Bersamaan dengan itu, Perang Dunia (PD) II meletus, sehingga Djatikusumo kembali ke Indonesia karena putus sekolah.

Djatikusumo lalu melanjutkan pendidikan di THS Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung atau ITB). Hanay saja, Perang Dunia II yang juga berdampak ke Indonesia memaksa Djatikusumo kembali putus sekolah dan hanya bisa mengikuti pendidikan tingkat empat.

Jejak Karier Djatikusumo di Dalam dan Luar Militer

Kendati demikian, pria kelahiran 1 Juli 1917 ini tidak putus asa. Nasib itu membuatnya mengenal dunia militer dengan memasuki Corps Opleding Reserve Offcieren (CORO) sekolah perwira bentukan Belanda.

Putra kedua dari lima bersaudara ini lalu bergabung dengan tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) angkatan pertama di Bogor usai Belanda ditaklukkan Jepang pada 8 Maret 1942. Djatikusumo kemudian ditempatkan sebagai Komandan Kompi I Batalyon I Surakarta.

Djatikusumo lalu diangkat menjadi Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Solo dengan pangkat mayor. Seiring berjalannya waktu, dia terlibat dalam berbagai pertempuran di Semarang dan melucuti senjata Jepang.

Kecintaan Djatikusumo kepada Tanah Air dan loyalitas yang sangat tinggi terhadap pimpinan tidak diragukan lagi. Klaim itu dibuktikan saat Djatikusumo diperintahkan mengambil meriam dalam perjalanan ke Solo pada pertempuran Semarang.

Setiba di Solo, Djatikusumo mendapat telegram dari Urip Sumoharjo untuk segera ke markas komando di Jakarta. Namun baru sampai Cikampek, Markas Urip Sumoharjo sudah dipindah ke Bandung, sehingga Djatikusumo memutuskan kembali ke Solo untuk berada di tengah-tengah anggotanya. 

Sayangnya, posisi Djatikusumo telah digantikan begitu tiba di Solo. Sehingga dia tak lagi memiliki jabatan.

Mendapat informasi akan ada perluasan divisi, Djatikusumo memutuskan ke Yogyakarta untuk bertemu Urip Sumoharjo. Saat itu, Djatikusumo ditawari untuk memilih jabatan. 

Dia lalu memilih kembali bertugas di Semarang memimpin Divisi IV yang berlokasi di Salatiga meliputi Pekalongan, Semarang, dan Pati dengan pangkat Mayor Jenderal (Mayjen) pada November 1945 hingga Juni 1946.

Tak lama, Djatikusumo dipindahtugaskan menjadi Panglima Divisi V Ronggolawe. Selain dipindah, pangkat Djatikusumo juga diturunkan lebih rendah dua tingkat, yakni kolonel. 

Penurunan pangkat tersebut akibat kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (RERA) di TNI. Dengan kebijakan itu, Djatikusumo memiliki jabatan yang sama namun dengan kolonel. Meski pangkatnya diturunkan, hal itu tidak menyurutkan semangat pengabdian Djatikusumo sebagai prajurit TNI. 

“Yang penting bukan jabatannya, tetapi yang penting tugasnya,” ucapnya.

Hingga akhirnya, pimpinan militer mengangkat Djatikusumo sebagai KSAD pertama dalam Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang bermarkas di Benteng Vredenburgh, Yogyakarta terhitung sejak Februari 1948. Pengangkatan Djatikusumo berdasarkan penetapan Presiden Nomor 14 Tahun 1948 tertanggal 14 Mei.

Tidak hanya itu, pada November 1948 Djatikusumo dipercaya untuk merangkap jabatan sebagai Gubernur Akademi Militer (AM) di Yogyakarta dengan pangkat tetap kolonel. Setelah setahun menjabat sebagai KSAD, pada 1949 jabatan sebagai orang nomor satu di Angkatan Darat diserahkan kepada Kolonel AH Nasution.

Djatikusumo kemudian dipercaya mengemban sejumlah jabatan usai tak lagi menjabat KSAD. Seperti Kepala Biro Perancang Operasi Militer Kementerian Pertahanan sejak Agustus 1950 hingga Maret 1952.

Dia selanjutnya diangkat sebagai Komandan SSKAD di Bandung yang sekarang bernama Seskoad sejak April 1952. Bahkan, kariernya semakin moncer usai diangkat sebagai Direktur Zeni Angkatan Darat dengan pangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI pada 1956 hingga Agustus 1968.

Lagi-lagi, Djatikusumo dipercaya merangkap jabatan. Dia diangkat sebagai Koordinator Operasi Militer di Sumatera Utara dan Ketua Tim Pengatur Penempatan Kontingen Pasukan Indonesia di United Nations Emergency Forces (UNEF) di Kairo, Mesir.

Jabatan Direktur Zeni Angkatan Darat merupakan jabatan terakhir Djatikusumo di dunia militer. Dia lalu dipercaya menjadi perwakilan RI di Singapura selama setahun sejak 12 Juli 1958.

Dia kemudian diangkat menjadi Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata dengan pangkat yang dinaikkan menjadi mayor jenderal (mayjen).

Setelah empat tahun menjabat, Djatikusumo kemudian diangkat sebagai Duta Besar (Dubes) RI untuk Malaya (sekarang Malaysia) sejak Oktober 1963 hingga Oktober 1965. Selanjutnya, Djatikusumo menduduki posisi sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa penuh RI di Kerajaan Maroko.

Kemudian menjadi Dubes Prancis dan Spanyol selama 2 tahun sejak 1966-1968. 

Meski menduduki jabatan di luar militer, kariernya masih terpantau di institusi TNI AD. Dia lalu diangkat menjadi letnan jenderal (letjen) TNI semasa menjadi dubes RI di Maroko. 

Saat kembali ke Angkatan Darat, pimpinan Angkatan Darat memberikan jabatan Pati dan diperbantukan di staf umum Angkatan Darat hingga memasuki masa pensiun pada 7 Oktober 1970.

Hingga akhirnya, Djatikusumo tutup usia pada 4 Juli 1992. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman raja Imogiri, Yogyakarta.

Atas jasa-jasanya, negara memberikan tanda jasa sebanyak 17 penghargaan. Bahkan, Vatikan juga memberikan penghargaan.

Pada 1997, menganugerahi pangkat Jenderal Kehormatan. Sesuai Keppres RI No 073/TK/Tahun 2002 Tanggal 6 November, Presiden RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Jenderal TNI Kehormatan GPH Djatikusumo.

Mirip Khalid bin Walid dan Thariq bin Ziyad

Mantan Panglima ABRI Jenderal Besar TNI AH Nasution menyebut Djatikusumo mirip dengan Panglima Perang Islam yang ulung Khalid Bin Walid dan Thariq bin Ziyad. 

Kedua panglima tersebut didegradasi jabatannya menjadi prajurit biasa, akan tetapi tidak kecewa dan turun moril.

"Karena mereka berjuang semata kepada Sang Pencipta Allah SWT. Orang Jawa menjulukinya Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe,” ucapnya.

Tidak hanya itu, Nasution menilai Djatikusumo merupakan sosok pekerja keras dan penuh pengorbanan. Dia juga menilai Djatikusumo tidak pernah mengharapkan imbalan jasa.

"Sosok prajurit yang yakin akan kebenaran tugas yang telah diberikan oleh pimpinan kepadanya, tidak ada ambisi pribadi dalam dirinya,” ujarnya.

Comment Using!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages