Timbulkan Kerugian Ekonomi, BRIN Bahas Berbagai Penyakit yang Sering Dilupakan Pada Hewan - BRIN

 

BRIN - Timbulkan Kerugian Ekonomi, BRIN Bahas Berbagai Penyakit yang Sering Dilupakan Pada Hewan

Timbulkan Kerugian Ekonomi, BRIN Bahas Berbagai Penyakit yang Sering Dilupakan Pada Hewan

Diterbitkan pada 11 jam yang lalu

Cibinong - Humas BRIN. Penyakit jamur pada ikan sering dianggap remeh karena tidak menyebabkan kematian mendadak, padahal dapat menurunkan produktivitas dan memicu infeksi lainnya. Untuk pengobatannya pun sulit dan mahal, begitu juga dengan infeksi rotavirus pada sapi yang menyebabkan diare, terutama pada pedet. Penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi besar dan semakin parah bila ada infeksi tambahan.

Selain penyakit-penyakit tersebut, penyakit lainnya yang tidak kalah penting dan juga membutuhkan perhatian adalah penyakit infeksius seperti African Swine Fever (ASF). Namun, riset rotavirus di Indonesia masih terbatas dan kurangnya pemahaman biosekuriti di peternakan rakyat membuat pengendalian penyakit ini menjadi tantangan. Oleh karena itu, Pusat Riset Veteriner, Organisasi Riset Kesehatan BRIN mengadakan Webinar Series Research bertema “Penyakit Penting yang Sering dilupakan,” pada Jumat (22/11).

Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Indi Dharmayanti menyampaikan bahwa tema webinar kali ini dirancang untuk meningkatkan kesadaran kita terhadap penyakit-penyakit yang sering luput dari perhatian tetapi memiliki dampak signifikan pada sektor perikanan, peternakan dan kesehatan masyarakat. Penyakit jamur pada hewan khususnya ikan terkadang kurang mendapat perhatian meskipun sebenarnya dapat menurunkan produktivitas akuakultur secara drastis. 

Indi juga mengatakan jika infeksi jamur lebih banyak bersifat kronis yang diikuti dengan penyakit-penyakit lainnya seperti virus dan bakteri sehingga menghabiskan biaya pengobatan yang cukup mahal dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Studi menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang buruk seperti kualitas air yang rendah sering menjadi pemicu utama penyakit tersebut. “Peningkatan pengetahuan dan pengendalian lingkungan menjadi solusi yang krusial untuk mencegah penyebaran infeksi ini dan kondisi serupa juga terjadi pada infeksi rotavirus penyebab penyakit diare pada sapi saat ini yang masih belum mendapat perhatian dan bagaimana upaya pencegahan serta pengendaliannya di Indonesia,” imbuh Indi.

Rotavirus merupakan salah satu penyebab diare pada sapi terutama pada pedet. Infeksi ini menimbulkan angka morbilitas dan mortalitas yang tinggi serta kerugian ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung pada peternakan sapi. Dampak dari infeksi ini akan terlihat semakin parah apabila terjadi infeksi campuran dengan mikroorganisme lainnya seperti protozoa, bakteri dan lain-lain. Penelitian terkait sirkulasi strain rotavirus pada sapi secara berkelanjutan sangat penting dilakukan untuk merancang upaya pencegahan dan pengendalian penyebarannya serta mengidentifikasi bahaya yang ditimbulkan akibat munculnya strain virus baru apakah menjadi lebih virulent atau berpotensi sebagai zoonosis. 

Namun demikian di Indonesia riset terkait rotavirus pada sapi masih sangat terbatas dilakukan dan dilaporkan sehingga hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pengendalian penyakit tersebut. Adanya laporan kejadian penyakit infeksius dan non infeksius yang semakin hari cenderung meningkat mengarahkan kita pada kegiatan pemantauan dan pengendalian penyakit hewan melalui penelitian medis dilakukan untuk melakukan pencegahan, penanganan, diagnosis dan pengobatan penyakit. 

Indi mengungkapkan bahwa Organisasi kesehatan hewan dunia atau WOAH melalui Immediate Notification pada bulan September 2019 menyatakan telah terjadi wabah ASF di Indonesia yaitu pada 16 Kabupaten Kota di Provinsi Sumatra Utara. Wilayah Timur Sumatra Utara terus menghadapi tantangan dalam mengendalikan penyebaran penyakit ini terutama karena tingginya mobilitas ternak. Virus ASF telah menginfeksi 82 persen wilayah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan total kematian 112.441 ekor babi. Kematian babi ini didominasi babi domestik pada peternakan rakyat yang bersifat menengah. 

“Penelitian yang terkait diagnosa penyakit ASF dan FGD (Focus group discussions) dengan petugas kesehatan hewan dan peternak di Kabupaten Deli Serdang, Langkat, Bedagai, Batu Bara Kota Medan telah dilakukan sebagai upaya untuk pencegahan dan pengendalian infeksi penyakit ini di Sumatera Utara. Rendahnya pemahaman dan penerapan biosekuriti lalu lintas babi di peternak diduga menjadi faktor keberlanjutan infeksi virus ASF di Sumatera Utara,” ungkap Indi.

Adapun pada sektor perikanan, patogen selain jamur yang kadang kurang mendapat perhatian adalah infeksi virus lymphocystis pada ikan. Penyakit ini menyerang jaringan ikan dan kulit ikan yang membentuk lesi seperti tumor. Walaupun tidak mematikan, namun penyakit ini dapat mengurangi nilai ekonomi ikan hias dan budidaya. Penelitian menunjukkan bahwa pemantauan kualitas air dan karantina ikan baru dapat mencegah penyebaran penyakit ini di kolam budidaya. “Saya berharap dengan webinar kali ini dapat menambah wawasan para peserta terutama mengenai permasalahan penyakit penting yang sering dilupakan,” kata Indi.

Dalam kesempatan yang sama, Harimurti Nuradji, Kepala Pusat Riset Veteriner BRIN menyampaikan bahwa terkait penyakit pada hewan itu terkadang ada penyakit yang sering tidak kita perhatikan dengan seksama. Seperti kita ketahui dengan meningkatnya interaksi antara manusia, hewan dan lingkungan ini juga meningkatkan potensi penyebaran penyakit baik antara hewan, hewan dengan manusia, dan juga dari lingkungan. 

Potensi penyakit ini sering kali tidak kita potret dengan bagus karena ada penyakit-penyakit yang mungkin memberikan dampak yang luar biasa seperti flu burung, mulut dan gigi dan lain sebagainya yang memang menyebabkan dampak yang luar biasa. Namun demikian ganguan kesehatan hewan tersebut juga tidak hanya berdampak pada kerugian ekonomi namun juga menyebabkan penularan kepada manusia yang kita kenal sebagai zoonosis,” kata Hari.

Hari mengatakan jika banyak hewan yang membawa mikroba yang dapat menjadi agen zoonosis saat dipelihara atau berinteraksi dengan manusia. Seperti kita ketahui bahwa lebih dari 1.400 jenis penyakit zoonosis di dunia beberapa termasuk dalam kategori neglected zoonotic diseases. Penyakit ini cenderung diabaikan karena angka kejadiannya rendah sehingga dianggap tidak berbahaya. Neglected zoonotic diseases atau penyakit zoonosis yang terabaikan ini meliputi penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit dan jamur yang sering luput dari perhatian dari masyarakat maupun pemerintah. 

Selain itu, Hari mengungkapkan jika ada penyakit-penyakit yang juga sering terabaikan pada hewan baik itu hewan ternak, maupun hewan akuatik. Infeksi jamur yang kronis dan sering diikuti penyakit lain seperti infeksi virus dan bakteri sehingga meningkatkan biaya pengobatan dan juga kerugian ekonomi. Selain itu, di sektor ternak ada juga penyakit ASF atau demam babi Afrika yang telah menyebar di seluruh Indonesia dan masih menjadi tantangan yang luar biasa. Para peternak  menerapkan disease created yang ketat sebagai langkah paling efektif karena masih belum adanya vaksin yang tersedia untuk penyakit ASF tersebut.

Dengan adanya pemahaman disease created, pengendalian penyakit dan pemahaman mengenai dinamika penyakit tersebut diharapkan penyakit ASF yang ada di Indonesia dapat segera ditanggulangi. Kondisi serupa juga terjadi pada penyakit infeksi yang lain pada hewan ternak seperti infeksi rotavirus yang menyebabkan penyakit diare pada sapi yang hingga saat ini belum mendapatkan perhatian termasuk upaya pencegahannya dan pengendaliannya di Indonesia. “Dengan adanya webinar kali ini saya berharap mampu menambah wawasan bagi kita semua dan menjadi langkah awal dalam meningkatkan penanganan dan pengendalian penyakit-penyakit pada hewan di Indonesia,” ungkapnya. 

Senada dengan hal tersebut, Wasito, Peneliti Ahli Utama, Pusat Riset Veteriner, memaparkan materi yang berjudul “Dinamika African Swine Fever (Asf) Peternak Rakyat Di Wilayah Timur Sumatera Utara”. Dalam kesempatan tersebut, Ia menyampaikan jika kasus pertama positif PCR ASF Bvet Medan yang menyerang babi terjadi pada 20 September 2019 di Kabupaten Dairi Sumatera Utara dengan kematian babi sebanyak 6687 ekor yang tersebar di 14 kecamatan dan 57 desa.  

Wasito juga mengatakan jika penelitian dinamika ASF yang dilakukannya bersama tim meliputi Wilayah Timur Sumatera Utara, meliputi Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Batubara, Kota Medan, dan Binjai dengan menggunakan metode paradigma konstruktivisme , mengungkapkan realitas teknis, sosial ekonomi spesifik berdasarkan informan yang digali secara dialektis serta menggunakan data kualitatif dan kuantitatif. 

Penelitian yang dilakukannya meliputi hasil pemeriksaan ASF–PCR BVet Medan (2019 – 2022), Penelitian lapang ke lokasi hasil positif ASF – PCR BVet Medan, Analisis Deskriptif dan SWOT kemudian mereview hasil penelitian ASF di Sumatera Utara. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa virus ASF koleksi Sumatera Utara (2019-2023) tergolong dalam genotipe II, memiliki kesamaan karakter genetik dengan isolat virus ASF dari China. Virus ASF tersebut tidak menunjukkan perubahan karakter virus dan  tetap stabil selama 5 tahun terakhir (2019 – 2023).

Selain itu, hasil dari analisis SWOT budidaya babi menunjukkan bahwa faktor eksternal (risiko) adalah babi diserang penyakit (ASF, diare anak) dan faktor internal (kelemahan) adalah kurangnya penerapan teknologi berbasis SOP. Adapun strategi bertahan atau defensif dapat minimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancamannya. “Usaha Rumah Makan Babi Panggang Karo, mempunyai kekuatan dan peluang sehingga mampu meminimalisir kelemahan dan ancaman karena jika suplai daging sapi dari peternak ke Rumah Makan Babi Panggang Karo berkurang mereka tetap dapat mengimpor dagingnya dari luar sehingga perusahaan babi akan tetap ada,” tutupnya. (dnp,tg,ash,lnw/ed:sl,jml)

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya